JELANG hari pers nasional, istilah wartawan bodrex kembali diperbincangkan publik dan sejak dulu sudah sangat populer di masyarakat.
Pengamat politik dan sosial Heru Subagia berkomentar atas ucapan Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal (Menteri Desa PDT), tentang kepala desa yang sering diganggu LSM dan Wartawan Bodrex.
“Makanya jangan korupsi (kepala desa) biar enggak pusing kepala dan diganggu sama LSM dan wartawan, kan memang tugas mereka kontrol sosial. Pemerintah desa termasuk banyak yang rentan korupsi dan hal tersebut sangat wajar jika dikontrol oleh LSM dan wartawan,” ungkap Heru, Selasa (4/2).
Baca Juga:Di Balik Tradisi Angpao di Tahun Baru ImlekKasus yang Bikin AKBP Bintoro Terseret Dugaan Pemerasan Nilai Miliaran Rupiah Terhadap Tersangka Pembunuhan
“Desa-desa itu banyak korupsi, jadi wajar kalau diganggu sama mereka [LSM dan Wartawan], karena mereka salah, coba kalau gak korupsi gak bakal diganggu kan,” ucapnya.
Menurut Heru, atas penuturan dari Menteri Desa PDT tersebut, menurut dia karena menteri tersebut terbilang baru dan belum paham.
Ia tidak setuju pernyataan Mendes Yandri, seharusnya menggunakan kata oknum, karena ini jelas menyinggung perasaan semua wartawan.
Heru menyayangkan masih ada juga pejabat negara yang hanya bisa memberikan label kepada wartawan dengan sebutan wartawan bodrex tetapi mereka tidak pernah memberikan ruang dan tempat untuk mereka belajar agar bisa menjadi wartawan yang profesional.
“Pernyataan tersebut telah menimbulkan perdebatan tentang pentingnya menggunakan bahasa yang tepat dan tidak menyinggung. Saya sering didatangi wartawan dan engga merasa terganggu ataupun sakit kepala. Terkadang saya undang makan bersama,” ungkapnya.
Mungkin mereka ini wartawan bodrex, kata Heru, biasanya bodrex—obat sakit kepala—jadi solusi mengatasi kepala pusing. “Jangan-jangan istilah wartawan bodrex ini muncul bukannya menyembuhkan pusing, malah bikin tambah pusing. Mereka datang menemui oknum pejabat negara yang korupsi dan ditunggangi kepentingan pribadi oknum wartawan. Akhirnya, pusing berjamaah,” tandas Heru.
“Soal wartawan amplop, saya tidak menutup mata salah satu kepada pihak yang memberikan amplop tersebut. Tak jarang kita lihat di kehidupan nyata, para wartawan menerima amplop dan menerbitkan suatu berita yang bercondong positif kepada pihak yang memberikan amplop tersebut. Lha wong, saya ini biasa berikan amplop sekadar uang bensin,” ujarnya.