PENANGKAPAN CEO Telegram Pavel Durov memicu kontroversi. Menurut otoritas Prancis, penangkapan itu merupakan bagian dari penyelidikan dugaan pengedaran narkoba, konten pornografi, hingga pencucian uang dan kriminalitas siber di platform Telegram.
Kendati demikian, pemerintah Rusia meminta pemerintah Prancis membeberkan bukti kuat untuk tuduhan tersebut. Jika tidak, Rusia mengatakan tindakan Prancis sebagai pembungkaman terhadap kebebasan berekspresi.
Durov merupakan pengusaha berusia 39 tahun yang lahir di Rusia, lantas meninggalkan kampung halamannya pada 2014 silam karena menolak tunduk pada perintah pemerintah Putin untuk memblokir akun-akun oposisi di Telegram.
Baca Juga:Rapat Pengesahan PKPUI Pilkada 2024 Dipercepat, Komisi II DPR: Percepatan Dilakukan agar Tak Ada PrasangkaPusat Pencegahan dan Pengendalian Penyebaran Penyakit di Eropa Ingatkan Warga Waspada Risiko Virus Mpox
Saat ini Durov terdaftar memiliki dua kewarganegaraan, yakni Prancis dan Uni Arab Emirat (UAE). UAE sudah buka suara dan meminta Prancis untuk mengizinkan pendampingan diplomatik dari UAE untuk Durov.
Ada beberapa spekulasi yang beredar menyebut penangkapan ini bersifat politis. Kendati demikian Presiden Prancis Emmauel Macron telah membantah asumsi tersebut.
Sebagai informasi, Telegram marak digunakan kelompok militan Hamas dan warga Palestina untuk bertukar informasi. Telegram beberapa kali diminta untuk memblokir akun-akun Hamas dan Palestina, namun ditolak oleh Durov.
Dalam pernyataan pada 2023 lalu, Durov mengatakan tim moderator Telegram selalu berupaya menghapus akun-akun berbahaya. Namun, ia enggan membatasi akun-akun yang menyebarkan informasi terkait perang.
“Setiap hari, para moderator Telegram dan tool AI kami menghapus konten-konten berbahaya dari platform kami. Namun, peliputan terkait perang jarang terlihat jelas [bayahanya],” kata dia kala itu, dikutip dari NDTV, Rabu (28/8).
Berbicara spesifik soal Hamas, Durov mengatakan banyak informasi dari akun-akun Hamas yang bermanfaat bagi nyawa manusia.
“Hamas menggunakan Telegram untuk memperingatkan penduduk sipil di Ashkelon untuk meninggalkan area tersebut menjelang serangan misil mereka. Jika akun itu dihapus, akan menyelamatkan masyarakat atau membahayakan lebih banyak orang?” ia bertanya.
Baca Juga:Kebakaran Kompleks Pertokoan Eks Hasil Pasar Raya 1 Salatiga Diduga Korsleting, 4 Kios di Blok A24-A27 LudesBPS Catat Indonesia Masih Impor dari Israel Juni 2024, Berikut Data Jenis Barang dan Perkembangan Nilainya
Durov mengatakan sangat gampang sebenarnya membuat keputusan yang emosional terkait informasi perang. Namun, di situasi yang kompleks, perlu banyak pertimbangan yang dipikirkan sebelum membatasi atau memblokir akun.
“Tak seperti aplikasi lain yang menggunakan alforitma untuk mempromosikan konten-konten kontroversial, di Telegram pengguna hanya mendapatkan informasi dari channel langganan mereka. Jadi, tak mungkin channel Telegram dipakai sebagai alat propaganda. Channel Telegram menjadi sumber yang unik untuk memberikan informasi bagi para periset, jurnalis dan pengecek fakta,” ia menjelaskan pada Oktober 2023 lalu.