Namun, tak ada makan siang gratis. Ada indikasi Torshin menuntut imbalan: meminta Butina terlibat dalam upaya mengacak-acak Pemilu AS pada 2016. Butina dipilih karena dinilai bakal lebih mudah masuk lingkaran Republikan (seperti NRA) karena sama-sama membawa misi yang sama yakni legalitas penggunaan senjata.
Menurut pengadilan, sebagaimana dilaporkan BBC, Torshin dianggap sebagai pihak yang mengomandoi aksi intelijen Butina. Buktinya cukup banyak. Dari aktivitas tukar pesan keduanya secara daring, beredarnya foto bersama mereka, hingga pengakuan Butina yang menyebut dirinya “dipekerjakan sebagai asisten khusus untuk Mr. Torshin.”
Aksi intelijen Butina rupanya tak hanya didukung elite pejabat macam Torshin. Pengadilan juga menemukan bahwa aksi-aksi tersebut turut didukung secara finansial oleh taipan bernama Konstantin Nikolaev. The Guardian melaporkan, Nikolaev punya kekayaan sebesar $1,2 miliar. Bisnisnya bergerak di bidang transportasi. Ia sering bekerjasama untuk menggarap proyek-proyek yang berhubungan dengan Putin.
Baca Juga:Imaji XinjiangCuaca Ekstrem, BMKG Imbau Warga Jawa Barat
Yang bikin semua terlihat ada benang merahnya ialah fakta bahwa Nikolaev pernah menanamkan modal di perusahaan istrinya, Svetlana, bernama Promtechnologies. Perusahaan ini bergerak di urusan pemasokan senjata. Daftar kliennya terbentang dari Israel, Dinas Keamanan Federal Rusia, dan tentu saja AS. Jika kurang jelas, putra Nikolaev, Andrey, yang kuliah di Columbia University, sempat mengajukan diri untuk jadi anggota tim kampanye Trump.
Seks dan operasi intelijen adalah dua hal yang sulit dipisahkan di Rusia. “Di Amerika, di [negara-negara] Barat, kadang Anda meminta orang-orang Anda untuk membela negara. Kami pun juga demikian. Namun, hanya ada sedikit perbedaan. Di Rusia, kami cukup meminta para perempuan muda untuk berbaring ,” ungkap mantan pimpinan KGB, Oleh Kalugin.
Ungkapan Kalugin benar adanya. Organisasi intelijen Uni Soviet, Komitet Gosudarstvennoy Bezopasnosti alias KGB, begitu serius mempersiapkan mata-mata molek nan pintar sejak awal Perang Dingin. Mereka direkrut dari sekolah dan kampus, dilatih dan dipekerjakan dengan pelbagai fasilitas di atas standar negara-negara komunis. Begitulah menurut David Lewis dalam Sexpionage: The Exploitation of Sex by Soviet Intelligence (1976).