Saya ingat satu paragraf dari Blinder dalam The Economics of Public Finance yang menegaskan bahwa efisiensi fiskal adalah syarat mutlak pertumbuhan jangka panjang. Itu seolah mencerminkan filosofi Sri Mulyani.
Di sisi lain, Purbaya muncul dari jalur berbeda. Lahir di Bogor, awalnya ia adalah insinyur elektro lulusan ITB.
Saya membayangkan seorang mahasiswa teknik yang tekun mengutak-atik transistor, lalu belasan tahun kemudian berubah jadi ekonom dengan gelar doktor dari Purdue University. Perpindahan jalur ini menunjukkan sesuatu: ia terbiasa berpikir kuantitatif tetapi tetap mencari jawaban praktis.
Baca Juga:Ketika Manusia Bertanya dan Mengugat, Jokowi Sudah MenjawabnyaUsai Aksi Protes Penggerebekan Imigrasi, Los Angeles Rusuh Donald Trump Kirim Ribuan Garda Nasional
Purbaya dikenal pragmatis. Ia percaya bahwa teori hanyalah alat, bukan tujuan.
Saya menemukan kesamaan pandangan ini dengan buku One Economics, Many Recipes karya Dani Rodrik. Rodrik menekankan bahwa tidak ada resep tunggal dalam ekonomi; setiap negara harus menemukan kombinasi kebijakannya sendiri. Cupin merasa, inilah semangat yang dibawa Purbaya—fleksibel, kontekstual, dan tidak kaku.
Presiden Jokowi pernah menyebut ada “beda mazhab ekonomi” antara keduanya. Saya mencoba merumuskannya begini: Sri Mulyani berdiri di sisi reformis-neoklasik, sementara Purbaya condong ke pragmatis-inovatif. Jika Sri Mulyani melihat angka utang sebagai ancaman, Purbaya mungkin melihatnya sebagai instrumen yang bisa dikelola asal tepat sasaran.
Saya juga ingat pengalaman keduanya dalam politik. Sri Mulyani, meski populer di mata internasional, sering dianggap terlalu kaku dalam menghadapi realitas politik domestik. Sementara Purbaya, dengan gaya lebih cair, tampak bisa menyesuaikan diri dengan arah pemerintah. Saya merasa ini penting, sebab ekonomi tak pernah steril dari politik.
Kedua sosok ini ibarat dua pemain catur dengan strategi berbeda. Sri Mulyani memilih bertahan, menjaga setiap bidak dengan hati-hati. Purbaya lebih suka menyerang dengan langkah-langkah tak terduga. Pertanyaannya: gaya mana yang lebih sesuai dengan visi besar Presiden Prabowo?
Sejak awal menjabat, Prabowo Subianto membawa visi ekonomi yang pragmatis. Saya mencatat beberapa program andalannya: menekan harga pangan, menjaga daya beli, mempercepat pembangunan infrastruktur, hingga meluncurkan paket stimulus ratusan triliun rupiah. Semua itu menunjukkan satu hal: Prabowo percaya pada intervensi negara yang aktif.