ICW: 7 Persoalan Disinyalir Jadi Faktor Melemahnya Indeks Persepsi Korupsi

ICW: 7 Persoalan Disinyalir Jadi Faktor Melemahnya Indeks Persepsi Korupsi
Anggota Divisi Korupsi Politik, Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana. (Foto: IST)
0 Komentar

MENJELANG berakhirnya masa jabatan Presiden Joko Widodo (Jokowi), nasib pemberantasan korupsi Indonesia kian mengkhawatirkan. Hal ini tergambar dalam Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang baru saja diluncurkan Transparency International Indonesia. Di mana skor pada tahun 2023 mengalami stagnasi dibandingkan dengan tahun sebelumnya.

“Indonesia memperoleh skor 34 dan peringkatnya merosot dari 110 menjadi 115. Jika ditarik ke belakang, skor IPK Indonesia saat ini sama dengan saat pertama kali Presiden Jokowi menjabat sebagai Presiden pada tahun 2014,” ujar anggota Divisi Korupsi Politik, Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana melalui keterangan tertulisnya, Selasa (30/1).

Menurut Indonesia Corruption Watch (ICW), fakta ini menegaskan bahwa selama sembilan tahun masa pemerintahan Jokowi tidak memiliki kontribusi berarti dalam agenda pemberantasan korupsi, bahkan cenderung membawa kemunduran yang signifikan.

Baca Juga:TPN Ganjar-Mahfud Laporkan Sejumlah Temuan Soal Kasus Aiman Witjaksono ke Ombudsman RIAiman Witjaksono Laporkan Penyidik Polda Metro Jaya ke Divpropam Polri dan Komnas HAM Hari Kamis

Oleh sebab itu, merujuk pada stagnasi pemberantasan korupsi di Indonesia, ICW memetakan tujuh persoalan yang disinyalir turut menjadi faktor melemahnya IPK, yaitu:

Pertama, Presiden Jokowi lebih sibuk “cawe-cawe” dalam urusan politik, ketimbang melakukan pembenahan hukum. Seperti diketahui, saat ini Indonesia memiliki setumpuk tunggakan legislasi yang diyakini dapat menyokong agenda pemberantasan korupsi, mulai dari RUU Perampasan Aset, RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal, hingga Revisi UU Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) dengan menyesuaikan norma konvensi PBB Melawan Korupsi.

Alih-alih dikerjakan, Presiden malah larut dengan nuansa politik dan melupakan janji politik penguatan pemberantasan korupsinya.

Kedua, Presiden lepas tanggung jawab terhadap situasi yang amat mengkhawatirkan di KPK. Kesimpulan ini bukan tanpa dasar, sebab, Pasal 3 UU KPK baru telah meletakkan Presiden sebagai atasan administratif lembaga antirasuah itu. Jadi, setiap peristiwa yang terjadi di KPK, khususnya menyangkut buruknya tata kelola kelembagaan, Presiden harus mengambil tindakan.

Akan tetapi, hal tersebut juga tidak dikerjakan. Akibatnya, kinerja KPK menurun, bahkan kepercayaan masyarakat merosot tajam belakangan waktu terakhir.

Ketiga, proyek legislasi yang dihasilkan oleh Presiden bersama dengan DPR telah berhasil mendegradasi pemaknaan korupsi sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Misalnya, UU Pemasyarakatan (UU PAS), dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Hal ini dikarenakan substansi UU PAS melonggarkan aturan pemberian remisi bagi terpidana korupsi.

0 Komentar