Ketegangan dengan IMF di era Gus Dur dan Kwik Kian Gie menjadi bab penting dalam sejarah ekonomi Indonesia. Meski menuai kritik, pemerintah tetap menjaga keseimbangan antara tuntutan internasional dan aspirasi nasional.
Kwik dan Pikiran Kritis
Kwik dikenal luas sebagai sosok yang tak kenal takut untuk mengkritik kebijakan nasional.Buku “Kebijakan Ekonomi Politik dan Hilangnya Nalar” menjadi semacam testamen pemikiran Kwik bahwa negara harus dikelola dengan akal sehat, keberanian berpikir mandiri, dan keberpihakan pada rakyat. Bukan dengan tunduk pada tekanan luar negeri atau demi kalkulasi politik jangka pendek.
Lewat bukunya tersebut membongkar bagaimana keputusan-keputusan ekonomi penting justru diambil tanpa pijakan logika ekonomi yang sehat, dan malah mengorbankan kedaulatan serta kesejahteraan rakyat.
Baca Juga:Ketika Manusia Bertanya dan Mengugat, Jokowi Sudah MenjawabnyaUsai Aksi Protes Penggerebekan Imigrasi, Los Angeles Rusuh Donald Trump Kirim Ribuan Garda Nasional
Dalam salah satu bagian buku, Kwik menyentil keras pemerintah Indonesia yang menurutnya terlalu tunduk pada lembaga asing seperti IMF dan ADB. Ia menyebut bantuan luar negeri bukanlah “bantuan” dalam arti sesungguhnya, melainkan jebakan utang yang membuat Indonesia kehilangan kendali atas ekonominya sendiri.
Kwik juga menyoroti kebijakan harga BBM dan subsidi energi yang menurutnya kerap salah kaprah serta mengupas sisi gelap dari penyelenggaraan negara yang terlalu politis. Kabinet yang lebih diisi oleh kader partai daripada profesional dianggap sebagai salah satu sebab utama kebijakan ekonomi yang tidak rasional. Kwik mendorong agar teknokrasi dikembalikan ke jalur yang benar dan kebijakan didasarkan pada data, bukan kompromi politik.
Kwik juga pernah mengkriitk keras Mantan Wakil Presiden Boediono karena menurutnya kebijakannya terlalu menganut paham Neoliberalisme melalui karyanya Indonesia Menggugat Jilid II.
Kwik dan BLBI
Kritikan tegas lain dari seorang Kwik Kian Gie adalah terhadap kebijakan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Pinjaman darurat kepada bank-bank ini nilainya mencapi Rp 144,5 triliun. Sayangnya ratusan triliun justru banyak diselewengkan.
Dalam berbagai kesempatan, Kwik menuding bahwa skema rekapitalisasi perbankan yang menggunakan obligasi negara pasca-krisis 1998 justru menguntungkan para konglomerat nakal yang mestinya bertanggung jawab atas keruntuhan sistem keuangan.
Di bawah koordinasi Kwik, pemerintah mulai menekan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) agar lebih transparan dalam menjual aset sitaan dari obligor BLBI.