Mengenang Kwik Kian Gie, Kritis Saat BLBI hingga Bersitegang dengan IMF

Kwik Kian Gie (Antara)
Kwik Kian Gie (Antara)
0 Komentar

Inflasi Indonesia pernah mencapai puncaknya pad Oktober 1998 yakni 79,41% sebelum melandai di era Kwik di angka 0,28% di Januari 2000.

Kebijakan ekonomi di era 1999-2000 lebih diarahkan pada menjaga stabilitas makro yakni mempertahankan rupiah agar stabil di kisaran Rp 7.000-Rp 9.000/US$1. Kebijakan lainnya adalah menekan inflasi dengan menjaga likuiditas dan koordinasi fiskal-moneter.

Di era 1999-2000, kebijakan ekonomi juga lebih difokuskan untuk melanjutkan program rekapitalisasi bank lewat penerbitan obligasi rekap, penguatan BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional) dalam menangani aset-aset bermasalah, serta likuidasi terhadap bank-bank bermasalah dan pengetatan regulasi perbankan.

Bersitegang dengan IMF

Baca Juga:Ketika Manusia Bertanya dan Mengugat, Jokowi Sudah MenjawabnyaUsai Aksi Protes Penggerebekan Imigrasi, Los Angeles Rusuh Donald Trump Kirim Ribuan Garda Nasional

Pemerintahan Gus Dur yang mulai menjabat pada Oktober 1999, mewarisi tantangan ekonomi besar pasca-krisis Asia. Untuk menjaga stabilitas ekonomi dan kepercayaan investor, pemerintah tetap melanjutkan program reformasi struktural bersama Dana Moneter Internasional (IMF).

Namun, di balik kelanjutan kerja sama tersebut, mulai muncul ketegangan panas antara pemerintah Indonesia dan IMF, terutama setelah penandatanganan Letter of Intent (LoI) ke-9 pada akhir 1999. Sorotan tajam datang dari Kwik Kian Gie, Menko Ekuin saat itu, yang secara terbuka mempertanyakan arah kebijakan IMF.

IMF, dalam LoI ke-9, mendorong Indonesia untuk mempercepat privatisasi BUMN, merestrukturisasi perbankan, serta menekan defisit anggaran. Namun langkah tersebut dinilai Kwik terlalu dipaksakan dan tidak peka terhadap kondisi ekonomi domestik yang masih rapuh.

Kwik dalam beragam komentarnya di media mengatakan privatisasi itu bukan sekadar jual aset. Menurutnya, kalau dilakukan dalam tekanan, yang terjadi bukan efisiensi, tapi undervaluation.

Selain itu, IMF juga dianggap mendorong liberalisasi ekonomi secara agresif, mulai dari deregulasi sektor keuangan hingga penghapusan berbagai bentuk proteksi industri. Padahal, saat itu struktur industri nasional belum pulih, dan kepercayaan publik terhadap institusi pemerintah sedang rendah.

Meskipun penuh kritik, pemerintah tetap menjalankan rekomendasi IMF secara formal hingga awal 2000-an, karena keterikatan pada paket bantuan keuangan senilai US$ 43 miliar. Dana ini penting untuk menstabilkan rupiah, membiayai rekonstruksi perbankan, dan menghindari kekacauan fiskal.

Namun hubungan Jakarta-Washington makin memburuk. Beberapa menteri secara terbuka mulai menyuarakan kekecewaannya terhadap IMF, bahkan memunculkan wacana untuk mengakhiri program kerja sama lebih awal.

0 Komentar