Kapitayan, Agama Penduduk Jawa Kuno Sebelum Hindu-Buddha di Nusantara?

Ilustrasi
Ilustrasi
0 Komentar

Berdasarkan penjelasan di atas, sifat utama Sang Hyang Tunggal adalah “ghaib” dan tidak terlacak oleh indera manusia. Kondisi yang demikian membutuhkan sarana yang dapat ditangkap oleh indera dan alam pikiran manusia, sehingga dalam keyakinan Kapitayan, Tu atau To itu mempribadi dalam segala sesuatu yang memiliki nama “Tu” dan “To” antara lain seperti : wa-Tu (batu) Tu-rumbuk (pohon beringin), Tu-gu, Tu-lang, Tu-ndak (bangunan berundak), Tu-tud (hati, limpa), To-san (pusaka), To-peng, To-ya (air).

Dalam praktiknya, puja bakti terhadap “Sang Hyang Tunggal” dilengkapi dengan sesuatu yang memiliki nama “Tu’ atau “To” semisal Tu-mpeng (sesaji), Tu-mpi (keranjang dari anyaman bambu), Tu-ak, (arak), Tu-kung (sejenis ayam), yang semuanya ditujukan untuk memohon sesuatu hal-hal yang baik. Sementara untuk persembahan kepada Sang Manikmaya dilakukan peribadatan serta sesembahan khusus yang biasa dikenal dengan sebutan “Tu-mbal”.

Konsep peribadatan di atas dikhususkan pada permohonan kebaikan dan menolak keburukan berdasarkan dua poros yang dimiliki oleh Sang Hyang Tunggal. Sementara ritual peribadatan terhadap Sang Hyang Taya biasa dilakukan melalui penyembahan dalam kehidupan keseharian yang dilakukan di suatu tempat yang disebut “sanggar” (semacam langgar) yang beratap empat (Tu-mpang).

Baca Juga:Di Balik Tradisi Angpao di Tahun Baru ImlekKasus yang Bikin AKBP Bintoro Terseret Dugaan Pemerasan Nilai Miliaran Rupiah Terhadap Tersangka Pembunuhan

Sanggar inilah yang mengilhami penyebutan “langgar” sebagai tempat peribadatan bagi umat muslim di berbagai pelosok, khususnya di daerah Jawa. Di Madura sendiri penyebutan tempat peribadatan dalam sistem “taneyan lanjhang” lazim disebut sebagai “langghar”.

Hingga saat ini, beberapa ritual atau sarana peribadatan peninggalan Kapitayan masih lestari dan menyatu dalam beberapa agama baru, seperti “sembahyang (sembah-Hyang), puasa (upawasa), pitutur (pitu-tur, pemberian nasehat), pidato, (pi-dha-Tu) mulang (pi-wulang, menyampaikan ilmu pengetahuan), pidana (pi-dana). Bahkan, nama ‘pondok pesantren’ yang kini menyebar ke seluruh pelosok Nusantara dan menjadi pusat transformasi keilmuan Islam adalah konsep pendidikan keagamaan yang diadopsi dari sistem pendidikan Kapitayan (santri, padepokan).

Konsep dan ajaran agama yang sedemikian lengkapnya terkesan terlalu diremehkan jika hanya dianggap sebagai pemuja animisme sebagaimana yang diuarikan dalam banyak buku-buku sejarah yang beredar di pasaran. Belum lagi soal tuduhan pelaku sinkretisme serta mencampur-adukkan agama dan budaya yang acapkali disematkan kepada para penganut agama lokal.

0 Komentar