Kapitayan, Agama Penduduk Jawa Kuno Sebelum Hindu-Buddha di Nusantara?

Ilustrasi
Ilustrasi
0 Komentar

MASYARAKAT Jawa dahulu memiliki agama bernama Kapitayan, di Sunda bernama Sunda Wiwitan. Agama ini lebih tua daripada agama Hindu maupun Buddha.

P. Mus dalam bukunya yang berjudul L’inde vue de L’Est. Cultes Indiens etindigenes au Champa, menyebutkan bahwa kepercayaan yang diyakini masyarakat Jawa termasuk juga penduduk yang tinggal di wilayah India, Indo Cina, kepulauan Nusantara hingga Pasifik ternyata tidak sesederhana yang disampaikan dalam pelajaran sejarah, yaitu animisme-dinamisme, melainkan merupakan agama kuno yang disebut Kapitayan.

Agama ini telah dianut dan dijalankan turun temurun semenjak Asia Tenggara termasuk Kepulauan Nusantara dihuni ras Proto Melanesia hingga kedatangan ras Austronesia.

Baca Juga:Di Balik Tradisi Angpao di Tahun Baru ImlekKasus yang Bikin AKBP Bintoro Terseret Dugaan Pemerasan Nilai Miliaran Rupiah Terhadap Tersangka Pembunuhan

Pembawa dan penyebar agama Kapitayan ini menurut keyakinan para penganutnya adalah Danghyang Semar, keturunan Sanghyang Ismaya yang berasal dari Lemuria yakni sebuah benua yang tenggelam karena diterjang banjir besar yang membuat Semar bersama kaumnya mengungsi ke Pulau Jawa. Kisah ini selanjutnya banyak dihubungkan dengan banjir besar yang terjadi pada masa Nabi Nuh.

Selain Semar ada juga saudaranya yang bernama Togog (Sang Hantaga) yang tinggal di luar Jawa dan juga mengajarkan agama Kapitayan namun dengan tata cara yang sedikit berbeda. Satu lagi saudara Semar yaitu Sang Manikmaya yang tinggal di alam gaib atau ka-hyang-an.

Agama yang disebut Kapitayan ini memuja tuhan yang mereka sebut Sanghyang Taya. Makna dari kata Taya adalah Suwung, Kosong, Hampa dan tidak bisa dipikir, dibayangkan serta dideteksi dengan pancaindra.

Sanghyang Taya diasosiasikan memiliki sifat Tu atau To yang terdiri atas dua sifat yakni kebaikan dan ketidakbaikan. Tu dipercaya tersembunyi dalam berbagai benda yang mengandung kata Tu seperti watu (batu), tu-ngkub (bangunan suci), tu-nda (bangunan berundak), tu-k (mata air), tu-mbak (jenis lembing), tu-nggak (batang pohon) serta yang lain.

Dalam pemujaannyapun juga digunakan sesajen yang mengandung kata tu, seperti tu-mpeng, tu-mpi (kue dari tepung), tu-ak (arak), tu-kung (sejenis ayam), tu-mbu (tempat bunga) serta yang lain.

Cara pemujaan yang dilakukan para penganut Kapitayan ini berbeda antara masyarakat awam dengan para ruhaniawan. Untuk menyembah Sanghyang Taya, masyarakat awam biasanya mempersembahkan sesajen di tempat-tempat keramat. Sedang para ruhaniawan melakukan pemujaan di tempat khusus bernama sanggar yang berupa bangunan beratap tu-mpang yang memiliki tu-tuk (ceruk pada dinding).

0 Komentar