Kapitayan, Agama Penduduk Jawa Kuno Sebelum Hindu-Buddha di Nusantara?

Ilustrasi
Ilustrasi
0 Komentar

Tata cara bersembahyang yang dilakukan para ruhaniawan diawali dengan tu-lajeg (berdiri tegak) tepat ke arah tu-tuk (ceruk) dengan tangan diangkat untuk memanggil Sanghyang Taya agar bersemayam dalam Tu-tud (hati). Setelah Sanghyang Taya dirasakan sudah hadir dalam Tu-tud, kedua tangan lantas bersedekap tepat di hati yang disebut swa-dikep.

Usai melakukan tulajeg dalam waktu yang cukup lama disusul dengan posisi tu-ngkul (membungkuk dengan mata memandang ke bawah) yang juga dilakukan dalam waktu relatif lama. Selanjutnya membuat posisi tu-lumpak (duduk bersimpuh dengan menduduki kedua tumit) dan diakhiri dengan posisi to-ndem (bersujud seperti janin dalam perut).

Proses beribadah yang dilakukan tersebut berlangsung lebih dari satu jam dan dilakukan dengan segenap rasa dengan tujuan untuk menjaga keberadaan Sang Hyang Taya agar tetap bersemayam dalam tu-tud (hati).

Baca Juga:Di Balik Tradisi Angpao di Tahun Baru ImlekKasus yang Bikin AKBP Bintoro Terseret Dugaan Pemerasan Nilai Miliaran Rupiah Terhadap Tersangka Pembunuhan

Menurut Agus Sunyoto dalam bukunya berjudul Atlas Wali Songo; Buku Pertama yang Mengungkap Wali Songo Sebagai Fakta Sejarah (2017:14), secara sederhana Kapitayan didefinisikan sebagai agama yang memiliki keyakinan terhadap sesembahan utama kepada “Sang Hyang Taya”. Posisi Sang Hyang Taya sendiri dimaknai sebagai sesuatu yang “hampa, kosong, suwung, awang-uwung.

Menurut pandangan ini, Taya dimaknai “absolut” sehingga tidak dapat dipikirkan, dibayangkan, dan tidak dapat didekati oleh panca indera. Leluhur Jawa kuno biasa mendefinisikan Sang Hyang Taya dalam ungkapan “Tan Kena Kinaya Ngapa”, yang memiliki arti “tidak bisa diapa-apakan keberadaan-Nya”.

Dengan artian bahwa Zat ini tidak ada tapi ada, tidak bisa dilihat oleh mata tetapi eksistensinya diyakini ada sebagai satu-satunya sumber kekuatan. Oleh karena ketiadaannya yang sebenarnya ada, diusahakan untuk mengenal dan menyembah “Sang Hyang Taya” melalui sesembahan yang dianggap mempribadi dalam nama dan sifat “Tu” atau “To” yang berdaya ghaib serta bersifat Adikodrati.

Selanjutnya Agus Sunyoto menjelaskan bahwa makna “Tu” atau “To” memiliki artian “tunggal dalam dzat” atau “satu pribadi”, yaitu “kebaikan dan ketidak-baikan”. “Tu” juga lazim disebut “Sang Hyang Tunggal” yang memiliki dua sifat kebaikan dan ketidakbaikan. “Tu” yang baik disebut sebagai “Tu-han” yang dikenal dengan nama “Sang Hyang Wenang”, sedangkan “Tu” yang bersifat tidak baik disebut “han-Tu” yang dikenal dengan nama “Sang Manikmaya”. Menurut ajaran Kapitayan, Sang Hyang Wenang dan Sang Manikmaya menyatu dalam sifat “Sang Hyang Tunggal”.

0 Komentar