SWEDIA pada Kamis melaporkan kasus pertama varian cacar monyet (mpox) yang lebih menular di luar Afrika, menurut laporan media lokal.
“Kasus ini yang pertama didiagnosis di luar benua Afrika,” kata Olivia Wigzell, penjabat direktur jenderal Otoritas Kesehatan Masyarakat Swedia, seperti dikutip oleh penyiar lokal SVT Nyheter.
Menurutnya, orang yang terkena infeksi itu mencari pengobatan di wilayah Stockholm, dan telah dipastikan terinfeksi varian virus cacar monyet yang lebih menular, yang dikenal sebagai cacar monyet varian 1 (clade 1).
Baca Juga:Kebakaran Kompleks Pertokoan Eks Hasil Pasar Raya 1 Salatiga Diduga Korsleting, 4 Kios di Blok A24-A27 LudesBPS Catat Indonesia Masih Impor dari Israel Juni 2024, Berikut Data Jenis Barang dan Perkembangan Nilainya
Menurut Otoritas Kesehatan Masyarakat, orang tersebut terinfeksi selama tinggal di sebuah wilayah di Afrika yang sedang mengalami wabah besar virus tersebut.
Varian cacar monyet yang kini menyebar di Republik Demokratik Kongo dan wilayah lain di benua Afrika diyakini lebih menular dan lebih mematikan ketimbang varian “clade 2,” yang menjadi penyebab wabah global yang dimulai pada tahun 2022.
“Saya dapat menyampaikan risikonya relatif tinggi dengan adanya kasus tunggal di Swedia, orang-orang yang telah bepergian ke daerah wabah, terinfeksi, dan kembali dengan paparan virus tersebut,” kata Magnus Gisslen, ahli epidemiologi Swedia, kepada SVT pada Kamis.
Ada obat antivirus yang dapat digunakan untuk mengobati kasus cacar monyet yang paling serius, namun “tidak ada pengobatan lain, selain mengobati gejalanya,” menurut Gisslen.
Namun, ia meyakini bahwa ada kesiapan yang memadai untuk mendeteksi virus ini pada pelayanan kesehatan dan upaya membatasi penyebaran infeksi.
“Namun, tentu saja, adanya kasus ini adalah sesuatu yang harus kita tanggapi dengan serius, dan mungkin terjadi penyebaran tertentu di sini,”.
“Penting bagi kita untuk menemukan kasus-kasus yang akan muncul, jika ada, sehingga kita dapat menanganinya dengan cara yang benar agar tidak terjadi penyebaran,” kata ahli epidemiologi tersebut. (*)