Ricklefs melihat bahwa sumpah pocong lahir, hidup, dan masih bertahan sampai hari ini di kalangan Islam tradisional. Prinsip dan pemahaman keagamaan mendukung untuk praktik sumpah macam ini.
Sementara Azlinda Azman dan kawan-kawan dalam Wacana Warisan, Pelancongan dan Seni dalam Kearifan Tempatan (2015) menyampaikan, meski sulit diketahui dari mana sumpah pocong bermula, tapi berdasarkan sejumlah informasi yang mereka terima, sumpah pocong diyakini berawal dari Pandhalungan, Jember, Jawa Timur.
Sumpah ini membidik sisi psikologis, menekan mental, dan pembuktian keberanian para pengucap sumpah, dengan menghadirkan pelbagai atribut agama dan kata-kata sumpah yang mengerikan.
Baca Juga:Kebakaran Kompleks Pertokoan Eks Hasil Pasar Raya 1 Salatiga Diduga Korsleting, 4 Kios di Blok A24-A27 LudesBPS Catat Indonesia Masih Impor dari Israel Juni 2024, Berikut Data Jenis Barang dan Perkembangan Nilainya
Para pengucap ini bersedia dilaknat Allah jika mereka berbohong. Namun, dengan dijalaninya sumpah pocong, ia akan terbebas dari tuduhan-tuduhan yang menyeretnya, dan masyarakat akan kembali tenang karena konflik telah terselesaikan.
“Pada saat masyarakat mengalami situasi konflik yang sukar dibuktikan secara undang-undang, misalnya didakwa sebagai penyebab sakitnya orang lain, didakwa mencuri, atau didakwa melakukan perselingkuhan dengan orang lain, maka sumpah pocong merupakan alternatif yang boleh ditawarkan untuk membuktikan bahwa dakwaan tersebut tidak benar,” tulis mereka.
Maksud dari “penyebab sakitnya orang lain” yang ditulis Azlinda Azman dan kawan-kawan adalah santet. Kasus dukun santet adalah pemicu paling tinggi dalam praktik sumpah pocong di Indonesia.
Sementara Heru Saputra dalam Memuja Mantra: Sabuk Mangir dan Jaran Goyang Masyarakat Suku Using Banyuwangi(2007) mencatat, praktik sumpah pocong juga kerap dilakukan warga Using, Banyuwangi. Menurutnya, sebelum geger pembantaian dukun santet terjadi, budaya Using tidak mengenal pembunuhan terhadap dukun dengan cara pembantaian.
Mekanisme sumpah pocong yang dipimpin seorang kiai di bawah kitab suci Alquran di dalam sebuah masjid atau langgar, melegitimasi kejujuran seseorang yang dituduh sebagai dukun santet.
“Mekanisme budaya seperti itu merupakan salah satu model penyelesaian kekerasan dan sekaligus merupakan refleksi bahwa budaya Using tidak menyukai kekerasan, setidak-tidaknya kekerasan secara terbuka,” imbuhnya.
Namun, menurut Nicholas Herriman dalam Negara vs Santet(2013), sumpah pocong justru hanya menjadi instrumen sementara bagi meredakan ketegangan antara warga dengan orang yang dituduh sebagai dukun santet. Setelah sumpah pocong digelar, warga kembali diserang hal-hal supernatural sehingga praktik sumpah tersebut dianggap tidak efektif.