SALATIGA, sebuah kota yang secara diam-diam menyimpan banyak cerita, telah menjadi saksi bisu dari gelombang peristiwa yang membentuk sejarah Indonesia. Kota ini ratusan tahun lampau telah menyaksikan beberapa episode penting.
Salah satu diantaranya adalah bangunan yang lokasinya persis bersebelahan dengan kompleks Pemerintahan Kota Salatiga, berada di ujung tenggara alun-alun Salatiga, yang arealnya lebih luas dari Lapangan Pancasila sekarang. Masyarakat Salatiga menyebut gedung Pakuwon, karena tanah tersebut merupakan bekas rumah Akuwu Kalicacing.
Menurut tesis Lulut Ayuning Rejeki berjudul Perlindungan Hukum terhadap Cagar Budaya di Kota Salatiga, pada 17 Maret 1957, di rumah akuwu Kalicacing ini dilangsungkan penandatanganan perjanjian antara Sunan Pakubuwono III dengan Raden Mas Said yang disaksikan oleh Patih Suryanegara (selaku Wakil Sultan Hamengkubuwono I) dan wakil dari VOC Nicholas Harting (GUBERNUR Hindia Belanda wilayah timur). Perlu untuk diketahui secara logis/ nalar bahwa sampai dengan abad ke 18 bangunan-bangunan rumah di Salatiga masih menggunakan rumah Joglo dengan atap daun rumbia dan damen.
Baca Juga:4 Kecamatan 9 Desa 16.422 Jiwa Terdampak Banjir di Cirebon: Tanggul Sungai JebolIbu Kandung Pegi Setiawan Tolak Jalani Pemeriksaan Psikologi, Ini Alasan Kuasa Hukum
“Jadi bangunan gedung seperti yang masih berdiri kokoh di tempat tersebut baru dimulai pada pertengahan abad ke 19. Orang-orang Belanda yang kaya baru berbondong-bondong untuk bertempat tinggal di Salatiga, setelah Salatiga ditempati oleh pasukan Artileri Gunung II (A II Bg) tahun 1808. Sebagian besar mereka bertempat tinggal di Tangsi/kampement A II Bg, karena merasa lebih aman,” tulis Lulut.
Lebih lanjut, ia mengungkapkan dalam perjanjian Salatiga tidak ada keputusan yang membagi Kasunanan Surakarta menjadi 2 (dua) kerajaan. Yang terjadi adalah Raden Mas Said/ PangeranSambernyawa menghentikan perlawanannya terhadap Sunan Pakubuwono III. Oleh karena itu Sunan Pakubuwono III, berkenan mengangkat :
- Raden Mas Said sebagai Pangeran Miji/Merdika dengan gelar KGPAA (Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya) Mangkunegoro I.
- Sebagai Pangeran Merdika maka diperkenankan mendirikan pura (bukan kerajaan) di wilayah Ibu Kota Kerajaan Surakarta.
- KGPAA Mangkunegoro I diwajibkan menghadap Sunan setiap hari Senin, Kamis dan Sabtu.
- Kepada KGPAA Mangkunegoro I diberikan tanah seluas 4.000 cacah, yang meliputi tanah Keduwang, Laroh, Matesih dan sebagian wilayah Gunung Kidul.
- KGPAA Mangkunegoro tidak diperkenankan: membuat Sitihinggil/Balewitana, membuat Alun-alun dan menanam Waringin Kurung, membuat Benteng, menjatuhkan hukuman mati.