POSISI RI-1 alias Presiden Indonesia bisa dibilang menjadi pucuk kekuasaan tertinggi yang ada di negara ini. Tidak heran, kursi kepemimpinan ini menjadi posisi yang diperebutkan sekaligus menuntut mereka-mereka yang bersaing menuju ke sana untuk mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya. Ini bukan hanya dalam artian seseorang punya popularitas dan dikenal oleh publik saja, tetapi juga soal kapasitas pribadi yang bersangkutan untuk menjadi pemimpin yang baik.
Persoalannya, dalam beberapa kesempatan terakhir, konteks kapasitas itu seolah tak lagi menjadi hal yang utama dan tergeserkan oleh popularitas. Masyarakat kemudian memilih pemimpin atas preferensi “suka atau tidak suka” semata, bukan lagi “bisa atau tidak bisa” dalam konteks program-program kepemimpinan yang diusung sang pemimpin yang bersangkutan.
Tidak heran, alat ukur elektabilitas makin beririsan dengan popularitas seseorang. Ketika yang bersangkutan semakin sering tampil di media sosial macam TikTok misalnya dan kemudian disukai oleh masyarakat yang aktif main TikTok, ada kecenderungan yang bersangkutan dianggap layak untuk maju dan mampu menjadi pemimpin karena dianggap representatif bagi generasi TikTok.
Baca Juga:Adik Ipar Ferry Mursyidan Baldan: Almarhum Diduga Kena Serangan JantungPak Dahlan Sang Pemuja KTT G20
Padahal, seperti yang ditulis oleh Karima Hana-Meksem dari Valdosta State University, kepemimpinan – termasuk kepemimpinan politik – bukanlah sebuah kontes popularitas. Oleh karena itu, sudah selayaknya popularitas tidak dicampurbaurkan dengan narasi kepemimpinan, apalagi dalam konteks status pembuat kebijakan yang menyangkut orang banyak.
Ini tentu menjadi jebakan yang sangat besar. Popularitas tak bisa menjadi alat ukur apakah seseorang kandidat mampu atau tidak mampu memimpin ketika berhasil memenangkan kontestasi elektoral. Kandidat pemimpin seharusnya dipilih dari mereka-mereka yang telah punya jenjang pendidikan dan pelatihan yang menunjang karier kepemimpinannya nanti.
Ini penting karena seperti ditulis Matthew Thomas dan Luke Buckmaster dalam ulasan mereka untuk Parlemen Australia, pembuat kebijakan harus punya kapabilitas kepemimpinan karena mereka membuat kebijakan pada isu-isu yang kompleks dan menyangkut orang banyak.
Tak heran, banyak yang kemudian berargumentasi bahwa pemimpin itu bukan sosok yang punya kualitas bawaan lahir, melainkan ditempa atau diciptakan dalam perjalanan waktu untuk menjadi besar. Pemimpin bukan sekedar paham cara memenangkan hati masyarakat, tetapi juga cara mewujudkan visi dan misi greater good atau kebaikan bersama.