Kedua, blusukan merupakan kebijakan populis yang mampu mengalahkan strategi politik para elite. Jokowi juga sadar bahwa turun ke gorong-gorong merupakan santapan hangat bagi kamera media. Ketika Jokowi menjual kesederhanaannya untuk keuntungan elektoral, saat itulah Jokowi telah menjadi seorang politikus.
Bland menilai blusukan adalah cara efektif untuk mengaburkan fakta bahwa Jokowi diantarkan oleh elite dan taipan, hingga menjadi gubernur bahkan presiden. Sedekat apa pun Jokowi dengan pengusaha, dia tetap dianggap sebagai representasi rakyat. Wong cilik. Kenapa? Karena blusukan. Sehingga, dalam kontestasi apa pun, Jokowi mengartikan kemenangannya sebagai kemenangan rakyat.
From outsider to father of a new political dynastyBagian ini menjelaskan tentang keputusan Jokowi “menggadaikan” Balai Kota untuk Istana Negara. Kurang dari dua tahun menjabat sebagai gubernur, tentu sulit untuk mengatakan bahwa Jokowi memiliki rekam jejak yang bagus sebagai kepala daerah.
Baca Juga:Pengkritik Jokowi di Man of Contradictions, Benjamin Bland Senang Diskusi dengan AniesJokowi Bertolak Menuju Dubai, Sampaikan Ungkapan Bela Sungkawa
Maka pertanyaannya, apa yang membuat Jokowi berhasil memenangkan Pilpres? Bland kemudian menyebut Jokowi sebagai “man in time”. Jokowi adalah orang yang diuntungkan momentum.
Pada Pilkada DKI, Jokowi diuntungkan karena periode Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) segera berakhir. Secara tidak langsung, hal itu mempengaruhi peta dukungan kepada Fauzi Bowo, petahana gubernur yang satu partai dengan SBY.
Pada Pilpres 2014, Jokowi juga diuntungkan karena pesaingnya menanggung “dosa sejarah”. Apa maksudnya? Wiranto, Prabowo, Aburizal Bakrie adalah calon presiden potensial namun memiliki noktah hitam pada Orde Baru. Mereka memiliki rekam jejak dituding sebagai pelanggar HAM hingga perusak lingkungan. Jokowi menjadi sosok alternatif terbaik.
Poin penting yang diulas Bland pada bagian ini adalah bagaimana Jokowi merangkul lawan politiknya. Jokowi menyadari posisinya sebagai kader partai yang tidak mewarisi darah Sukarno.
Hal itu menyebabkan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) setengah hati mendukung Jokowi, sebab dia melompati Megawati dan Puan Maharani. Namun, mereka sadar elektabilitasnya kalah dari Jokowi.
Pada periode pertama, Koalisi Merah Putih (KMP) sebagai oposisi lama-kelamaan keropos. Satu per satu partai politik mulai mendukung Jokowi. Hal yang sama terlihat pada periode kedua. Jokowi membentuk “Kabinet gendut” untuk merangkul semua pendukungnya, bahkan Prabowo yang merupakan rivalnya sekalipun.