Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/66 (YPKP 65) Temukan Kuburan Massal di Cirebon

Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/66 (YPKP 65) Temukan Kuburan Massal di Cirebon
Kuburan massal di Blok Dongkol Desa Asem, Kecamatan Lemahabang, Kabupaten Cirebon. (Dokpri YPKP 1965)
0 Komentar

Soal temuan kuburan massal, apa saja tindak lanjut yang diharapkan Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/66 (YPKP 65)?

Saya mendesak kepada pemerintah supaya menidanklanjuti karena ini temuan awal. Upaya baik itu Kejaksaan Agung, Komnas HAM maupun Kemenko Polhukam menindaklanjuti dan ini sebagai bukti tambahan memang betul-betul terjadi adanya mass killings tahun 1965.  Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/66 (YPKP 65) melakukan penelitian ini karena dilatarbelakangi ada semacam tantangan dari Pak Luhut.  Saat itu (Luhut Pandjaitan menjabat sebagai Menkopolhukam.red), beliau mengatakan begini,”Tunjukkan kalau memang ada kuburan massal saya akan minta maaf.”Setelah kami laporkan, saat itu jumlahnya baru 116, ternyata bertambah lagi, dan Menkopolhukam keburu diganti. Tetapi, beliau termasuk yang menyangkalnya. Dengan adanya temuan kuburan massal ini, saya mengharapkan kepada pemerintah daerah setempat untuk merawatnya supaya lokasi ini tidak dirusak dan dihancurkan. Saya mendesak lokasi kuburan massal ini bisa dijadikan Memorial Park, tempat mengenang peristiwa 1965 sebagai tanda pembelajaran dan bahan studi generasi penerus mengetahui sejarah yang benar. Harapan kami, tidak ada lain kecuali untuk mengenang sejarah kelam ini supaya tidak bisa dilupakan sebagai pembelajaran publik.

Presiden Joko Widodo menandatangani PP No. 35 Tahun 2020 tentang “Perubahan PP Nomor 7 Tahun 2018 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban” pada tanggal 7 Juli 2020 dan telah diundangkan pada tanggal 8 Juli 2020. Bagaimana tanggapan Anda?

Baca Juga:Deretan Penyumbang DeflasiKorupsi Dipidana Seumur Hidup

Setelah saya pelajari PP No. 35 Tahun 2020 ini, ternyata mengkhususkan untuk korban terorisme. Jadi, korban terorisme justru mendapatkan pengharagaan yang lebih tinggi daripada kita korban pelanggaran HAM berat. Meskipun demikian, pegangan kami ialah korban pelanggaran HAM berat ini dikaitkan dengan UU LPSK No.13 Tahun 2006 dan revisinya UU LPSK No.31 Tahun 2014. Dan, ini pun LPSK tidak bisa mengeksekusi korban pelanggaran berat tahun 1965 karena sampai hari ini belum ada pengadilan HAM yang memberikan kepastian hukum kepada para korban. Dengan kata lain, UU LPSK memang tidak bisa dipakai untuk para korban pelanggaran berat tahun 1965. Saya terus terang sangat kecewa. Saya harapkan pemerintah segera merivisi atau katakanlah bagaimana para korban pelanggaran berat tahun 1965 juga memperoleh hak-haknya. Semestinya, korban-korban pelanggaran berat tahun 1965 lebih tinggi dari korban terorisme karena jumlahnya lebih besar. (*)

0 Komentar