Waspada Strategi Propaganda Partisipatif, Ini Alasannya

Waspada Strategi Propaganda Partisipatif, Ini Alasannya
Pengenalan buku 'Misguided Democracy in Malaysia and Indonesia-Digital Propaganda in Souteast Asia', karya Ika Idris dan Nurrianti Jalli, di Bakoel Koffie, Cikini, Jakarta, 19 Januari 2023. (Dok. Monash University)
0 Komentar

INDONESIA tercatat sebagai pengguna media sosial terbesar di Asia Tenggara harus waspada dengan strategi propaganda partisipatif atau participatory propaganda. Dosen senior Monash University Indonesia, Ika Idris, mengatakan strategi ini tidak lagi menekan pada pendekatan top-down dari pembuat propaganda, melainkan berfokus untuk menggerakkan partisipasi audiens.

“Akibat strategi ini banyak dari pembuat konten yang tidak sengaja menjadi fake news entrepreneur (pengusaha berita palsu) atau menjadi bagian dari ekosistem propaganda digital,” ujar Ika dalam acara diskusi buku “Misguided Democracy in Malaysia and Indonesia: Digital Propaganda in Southeast Asia” pada Jumat, 19 Januari 2024 di Jakarta.

Di Indonesia, sebut Ika, strategi ini terlihat pada propaganda invasi Rusia ke Ukraina. Menurutnya, banyak jaringan penyebar propaganda Rusia di media sosial yang menyebarkan materi-materi melalui berbagai platform. Ini memungkinkan audiens untuk berinteraksi dan bermain-main dengan konten melalui meme, sticker atau stich, sehingga mereka tidak selalu sadar dengan disinformasi yang disampaikan.

Baca Juga:Ditanya Soal Mundur dari Kabinet, Sri Mulyani: Masa? Ini Masih KerjaKoalisi Ganjar-Anies, Pengelabuan Politik?

“Awalnya mengangkat isu itu karena ternyata engagement-nya tinggi. Akhirnya keterusan membuat konten, dan akhirnya terlibat aktif dalam ekosistem propaganda digital,” ujar co-director Data & Democracy Research Hub, Monash University Indonesia itu.

Lebih lanjut, strategi propaganda partisipatif juga dilakukan di masa kampanye pemilu. Ika menyebutkan, para politisi berupaya keras agar masyarakat terlibat aktif menjadi agen-agen propaganda politik mereka. Hal ini sempat terjadi saat Pilpres Amerika Serikat pada 2016, dimana organisasi media, partisan media, ataupun konten creator meneguhkan polarisasi politik.

Pada kesempatan yang sama, peneliti departemen politik CSIS, Noory Okthariza mengatakan, propaganda digital di Asia Tenggara masih belum banyak membahas kesamaan dan perbedaanya. Menurutnya, Indonesia dan Malaysia adalah negara muslim terbesar di dunia yang memiliki narasi sama, seperti isu geopolitik Palestina dan Israel, China, dan Halal.

“Di tahun politik ini sebenarnya menarik untuk dicermati bagaimana efek dari propaganda ini pada kelompok Gen Z yang sebenarnya lebih banyak tersebar di daerah dan kelompok Pendidikan menengah ke bawah,” ujar Oktha.

Oktha menambahkan, bahwa buku mengenai disinformasi dan propaganda belum banyak yang menggunakan studi komparatif, khususnya di negara Asia. Selama ini buku mengenai disinformasi masih fokus pada satu kasus atau negara tertentu.

0 Komentar