Tragedi Jatuhnya Pesawat Lion Air JT-610 Jadi Sorotan Usai Dugaan Penyelewengan Dana Senilai Rp 138 Miliar oleh ACT

Tragedi Jatuhnya Pesawat Lion Air JT-610 Jadi Sorotan Usai Dugaan Penyelewengan Dana Senilai Rp 138 Miliar oleh ACT
Grafik pergerakan lion air jt610. ©Flightradar24
0 Komentar

Dalam waktu 6,3 detik, pesawat sudah membentur permukaan laut. Proses penurunannya berlangsung sangat cepat, sehingga tidak diketahui penduduk di sekitar kejadian. Mereka hanya mendengar ledakannya.

Basarnas menerima laporan air traffic control bahwa JT 610 lost contact. Setelah dikonfirmasi, Basarnas mengirim tim ke lokasi hilang kontak.

Setelah mengerahkan berbagai tim penyelamat, pada pukul 13.02 WIB tim lapangan menemukan potongan tubuh di sekitar lokasi kejadian perkara.

Baca Juga:Yayasan Aksi Cepat Tanggap Diduga Selewengkan Rp 138 Miliar Dana Korban Kecelakaan Pesawat Lion AirFakta-Fakta Gempa Susulan di Lumajang Dekat Pusat Pembangkit Tsunami 3 Juni 1994

Selanjutnya, serpihan pesawat dan potongan tubuh para korban terus ditemukan. Kejadian ini menewaskan 189 orang.

Investigasi penyebab jatuhnya JT 610

25 Oktober 2019, Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) Kementerian Perhubungan merilis laporan akhir investigasi kecelakaan Lion Air JT610.

Dalam laporan tersebut, KNKT menyimpulkan ada sembilan faktor yang berkontribusi pada kecelakaan yang menewaskan 189 orang itu, yang secara garis besar adalah gabungan antara faktor mekanik, desain pesawat, dan kurangnya dokumentasi tentang sistem pesawat.

Selain itu, faktor lain yang berkontribusi adalah kurangnya komunikasi dan kontrol manual antara pilot dan kopilot, beserta distraksi dalam kokpit.

Berdasar bukti rekaman data dan percakapan selama penerbangan, kopilot dinilai tidak familiar dengan prosedur, meskipun telah ditunjukkan cara mengatasi pesawat saat training.

Faktor yang berkontribusi pada kecelakaan Lion Air JT 610

Berikut adalah sembilan faktor yang berkontribusi kepada kecelakaan Lion Air JT 610, menurut KNKT Kementerian Perhubungan:

  1. Selama proses desain dan sertifikasi Boeing 737 MAX 8, dibuat asumsi-asumsi terkait respons pilot terhadap kerusakan. Meski konsisten dengan pedoman industri saat ini, ternyata asumsi ini tidak benar.
  2. Berdasarkan pada asumsi ini, perangkat lunak yang mengontrol hidung pesawat (MCAS) bergantung pada sensor tunggal dan dinyatakan tepat dan memenuhi semua persyaratan sertifikasi.
  3. MCAS pada pesawat dirancang untuk bergantung sepenuhnya pada sensor Angle of Attack (AOA), hal ini membuatnya rentan terhadap input yang salah dari sensor itu. AOA adalah parameter kunci dalam penerbangan yang menunjukkan sudut antara sayap pesawat dan arus udara yang mengalir ke arah pesawat. Jika sudut ini terlalu tinggi, pesawat bisa saja mandek atau kehilangan daya angkat. Data parameter diambil dari dua sensor, satu di antaranya terletak di sisi hidung pesawat.
  4. Dalam manual penerbangan dan sewaktu pelatihan pilot, tidak ada panduan tentang MCAS atau penggunaan trim yang lebih terperinci. Ini semakin menyulitkan kru penerbangan untuk merespons MCAS yang bekerja secara otomatis.
  5. Peringatan AOA DISAGREE tidak dengan benar diaktifkan selama pengembangan Boeing 737 MAX 8. Akibatnya, peringatan ini tidak muncul selama penerbangan dengan sensor AOA yang salah dikalibrasi. Ini juga tidak dapat didokumentasikan oleh kru penerbangan dan karenanya tidak tersedia untuk membantu bagian pemeliharaan dalam mengidentifikasi sensor AOA yang salah dikalibrasi.
  6. Sensor pengganti AOA yang dipasang pada pesawat yang mengalami kecelakaan telah salah dikalibrasi selama perbaikan sebelumnya. Kalibrasi yang salah ini tidak terdeteksi selama perbaikan.
  7. Investigasi juga tidak dapat menentukan bahwa uji pemasangan sensor AOA telah dilakukan dengan benar; namun kesalahan kalibrasi tidak terdeteksi.
  8. Kurangnya dokumentasi terkait penerbangan pesawat dan catatan perawatan tentang stick shacker dan penggunaan Runaway Stabilizer NNC yang terus-menerus menunjukkan bahwa informasi ini tidak tersedia bagi kru pemeliharaan di Jakarta dan juga bagi kru kecelakaan. Ini menyulitkan para pihak terkait untuk melakukan tindakan yang sesuai.
  9. Sejumlah peringatan, aktivasi MCAS yang terus berulang dan gangguan komunikasi dengan pihak Air Traffic Control tidak dapat dikelola secara efektif. Ini disebabkan oleh sulitnya situasi dan kurangnya penanganan manual, eksekusi Non-Normal Checklist (NCC) – yang merupakan prosedur untuk memecahkan masalah – serta komunikasi awak pesawat, mengarah pada tidak efektifnya aplikasi Crew Resource Management yaitu metode koordinasi antarpilot yang dirancang untuk memperbaiki respons terhadap kesalahan dan mengurangi stres. Kekurangan ini sebelumnya telah diidentifikasi selama pelatihan dan muncul kembali selama penerbangan yang kemudian berakhir dengan kecelakaan. (*)
0 Komentar