Tradisi Pertarungan Panthera Tigris Sondaica, Arena Gladiator di Tanah Jawa

Tradisi Pertarungan Panthera Tigris Sondaica, Arena Gladiator di Tanah Jawa
langitkata.blogspot.com
0 Komentar

Untuk memancing kemarahan, harimau akan disundut memakai kayu yang terbakar dan disiram air panas. Sementara bagi kerbau di atas kulitnya ditebari cabai dan daun jelatang. Daun ini diketahui bisa membuat gatal dan iritasi.

Katanya, dalam 20 kali pertarungan, 19 kali diantaranya selalu dimenangkan kerbau. Jika kalah, maka kerbau akan ditarik keluar dan diganti. Dalam laporan lain, jika penampilan harimau dalam bertarung kurang bagus, juga akan diganti.

Prosesi kedua, yaitu rampog macan. Ini adalah pertarungan yang tidak seimbang antara harimau dan ribuan manusia bersenjata. Alun-alun telah dipenuhi sekitar dua ribu hingga tiga ribu orang bersenjatakan tombak, sebagian ujungnya diberi racun. Mereka berbaris dari tiga hingga empat lapis. Terdapat laporan sebagian di antara mereka adalah orang Belanda juga China. Barisan paling depan akan menghunus tombaknya menghadap ke depan. Sementara barisan paling belakang memposisikan tombaknya berdiri.

Baca Juga:KPU Bersedia Perlihatkan Isi Kontrak dengan Alibaba Cloud dan Resume dari Proses Pengadaan Layanan Tanpa Tunjukkan Informasi yang DikecualikanAmel Korban Pembunuhan Berencana di Kampung Ciseuti Sempat Berteriak Minta Ampun

Beberapa orang menuju kandang dan melepas harimau setelah mendapat perintah Raja. Agar harimau mau keluar, mereka menakut-nakuti menggunakan alang-alang yang dibakar atau menyodoknya dengan bambu. Sementara itu gamelan dimainkan bertalu-talu yang membuat prosesi rampogan semakin dramatis. Harimau yang panik berusaha menyelamatkan diri dengan menerjang atau melompat. Namun tombak yang terhunus sudah menantinya dari berbagai arah.

Dalam artikelnya itu, Wessing menulis, ada kalanya harimau berhasil lolos dari kepungan. Terdapat catatan jika lolos, maka dia akan dibiarkan bebas.

Ada bukti bagaimana kedekatan harimau dan manusia sudah terjalin lama. Keduanya bahkan kerap berbagi ruang hidup layaknya bertetangga. Wessing menginterpretasikan hubungan harimau dengan manusia tidak sekadar tetangga. Lebih dari itu, harimau adalah saudara bahkan leluhur. Hal itu ditunjukkan dengan sebutan kepada harimau seperti nenek, datuk, atau guda (bahasa Sansekerta).

Harimau juga menjadi simbol kebangsawanan di mata orang Jawa, meski hal ini juga terus berubah. Dalam konteks tradisi rampogan, harimau dilambangkan sebagai anasir kejahatan yang harus singkirkan. Pelaksanaan rampogan yang dilakukan usai bulan ramadhan atau permulaan tahun baru Islam menunjukkan adanya tambahan dimensi keagamaan pada tradisi ini. Wessing mengutip Lizi Hope dalam Rampok Matjan (1958), bahwa harimau adalah hewan yang ditakuti dan dibenci. Meski demikian hanya dizinkan dibunuh pada saat lebaran Idul Fitri.

0 Komentar