DEWAN pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (Dewas KPK) mengungkap kasus pungutan liar atau pungli di rutan KPK bermuara pada satu nama, yaitu Hengki. Fakta itu terungkap dalam sidang pelanggaran etik yang digelar Dewas KPK pada Kamis, 15 Februari 2024 di Gedung C1 KPK, Jakarta.
Hengki pernah menjabat sebagai Koordinator Keamanan dan Ketertiban (Kamtib). Ia merupakan Pegawai Negeri Yang Dipekerjakan (PNYD) dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia atau Kemenkumham.
Para terperiksa mengatakan Hengki adalah orang yang dulu menunjuk para pegawai di rutan untuk mengumpulkan uang dari para tahanan.
Baca Juga:Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor Penuhi Panggilan KPKOpenAI Bakal Bikin Situs Pencarian Saingi Google
Anggota Dewas KPK Albertino Ho menyatakan praktik pungl ini terstruktur secara masif di tiga rutan KPK, yaitu rutan Gedung Merah Putih, Rutan KPK Gedung C1, Rutan KPK cabang Pomdam Jaya Guntur.
Para pegawai KPK disebut memberikan jasa kepada para tahanan yang ingin menggunakan handphone di rutan, dengan syarat membayar sekitar Rp 5 juta. “Angka-angkanya pun dia (Hengki) menentukan, pada awalnya Rp 20-30 juta kalau memasukkan handphone, begitu juga tiap bulan harus turun Rp 5 juta supaya bebas untuk memakai handphone,” ucap Albertino.
Para terperiksa memfasilitasi para tahanan yang ingin mengisi daya power bank, membelikan makanan, atau rokok dari luar, atau mengambil barang tahanan dari loker.
Usai Hengki berhenti bekerja di KPK, pegawai lain menunjuk orang yang dianggap ‘tua’ atau yang dipercaya menggantikan posisinya. Mereka memberi julukan kepada pengganti Hengki dengan sebutan ‘lurah’.
‘Lurah’ itu membagikan uang bulanan sebesar Rp 3 juta per orang atas jasa mereka melakukan pungli di tiga rutan. Dari pihak tahanan, ada yang bertugas mengumpulkan uang yang disebut korting atau koordinator tempat tinggal.
Dalam pemeriksaan KPK kini, Albertino mencatat ada sembilan orang yang menjadi lurah di tiga rutan KPK. Mereka memberikan uang bulanan secara tunai maupun transfer. Jika ditotal dari bukti transfer yang diterima seluruh terperiksa, ada uang bulanan sekitar Rp6 miliar dari 2018 hingga 2023. “Mungkin lebih dari itu,” ucap Albertino.
Sebab, bukti itu diperoleh hanya berdasarkan dari pengakuan para terperiksa. Kasus itu juga sudah lama terjadi, sehingga bukti-bukti tertulis berupa dokumen sulit ditemukan atau bahkan musnah. “Bahkan banyak penyerahan itu secara tunai. Sehingga sulit kita mendapatkan jumlah yang pasti,” kata Albertino.