Tantangan Besar dan Kecemasan Sri Mulyani Indrawati Terhadap Situasi Global

Komisi XI DPR RI raker dengan Menteri Keuangan RI (Tangkapan layar youtube)
Komisi XI DPR RI raker dengan Menteri Keuangan RI (Tangkapan layar youtube)
0 Komentar

Kenaikan ini memberikan dampak kepada negara-negara lainnya mengingat AS merupakan negara dengan perekonomian terbesar di dunia yang tercermin dari nilai Produk Domestik Bruto (PDB).

Negara maju hingga negara-negara berkembang turut menaikkan suku bunganya yang pada akhirnya menekan perekonomian masing-masing negara.

Implikasi dari kondisi kebijakan dari negara maju terhadap negara berkembang khususnya Indonesia yakni likuiditas ketat dan suku bunga yang meningkat serta menimbulkan biaya utang atau cost of borrowing yang meningkat.Lonjakan cost of borrowing tidak hanya memberatkan perusahaan saat meminjam tetapi juga banyak negara yang hendak mengeluarkan surat utang atau meminta pinjaman.

Baca Juga:Ibu Kandung Pegi Setiawan Tolak Jalani Pemeriksaan Psikologi, Ini Alasan Kuasa HukumSurvey ARFI Institut Ungkap Hasil Elektabilitas Calon Wali Kota Cirebon: Eti Herawati di Urutan Ketiga

Suku bunga Bank Indonesia (BI) tercatat mengalami kenaikan sejak Agustus 2022 dari 3,5% menjadi 3,75% dan dilanjutkan hingga pada Mei 2024 berada di angka 6,25%.Posisi ini merupakan yang tertinggi sejak Juli 2016 atau sekitar delapan tahun terakhir.

Tensi Geopolitik Meningkat

Sri Mulyani juga menjelaskan bahwa tensi geopolitik yang semakin tinggi serta fragmentasi dan proteksionisme menimbulkan unpredictability atau ketidakpastian arah dari perdagangan dan investasi karena seluruh negara berjaga-jaga.

Dalam setahun terakhir saja, situasi geopolitik terus memanas di Timur Tengah mulai dari perang Hamas Israel, konflik di Laut Merah, hingga konflik Israel-Iran.

Ketegangan geopolitik antara AS dan G7 dengan China dan Rusia juga memanas dan akan berdampak besar terhadap stabilitas politik dan ekonomi dunia.

Di pasar keuangan, ketegangan geopolitik akan membuat investor menahan diri atau malah mengurangi risiko dengan meninggalkan investasi di Emerging Markets.

Di investasi langsung, ketegangan geopolitik akan membuat investor menahan diri atau mengurangi ekspansi bisnis. Padahal, Indonesia membutuhkan banyak aliran dana segar untuk menggerakkan ekonomi dan menciptakan lapangan kerja.

Dari sisi investasi saja, Pemerintah menetapkan target investasi pada 2025 sebesar Rp 1.750 triliun, naik dari target pada 2024 sebesar Rp 1.650 triliun. Namun, laju pertumbuhan target itu hanya 6,06%. Jauh lebih lambat dari kenaikan target 2024 yang tumbuh 17,87%, karena pada 2023 targetnya Rp 1.400 triliun.

Baca Juga:Persidangan Taipan Media Hong Kong Atas Tuduhan ‘Konspirasi Publikasi Hasutan’ Makan Waktu LamaDirektur Al Jazeera Salah Negm: Kerugian yang Kami Alami karena Penghentian Siaran Dibawa ke Jalur Hukum

Di lain kesempatan, Sekretaris Kementerian Koordinator bidang Perekonomian, Susiwijono Moegiarso menjelaskan, potensi melesetnya target investasi 2025 memperhitungkan perlambatan ekonomi global.

0 Komentar