Strategi Belanda Taklukkan Islam dengan Pemberian Gelar Haji

Strategi Belanda Taklukkan Islam dengan Pemberian Gelar Haji
Sejarah gelar Haji di Indonesia yang diberikan oleh pemerintah kolonial Belanda untuk menandai pemberontak (wikipedia)
0 Komentar

Mengapa gelar haji wajib disematkan?

Tujuan utamanya untuk mempermudah kontrol dan pengawasan terhadap para haji. Pemerintah kolonial tak mau repot-repot mengawasi satu per satu haji di daerah-daerah. Jika ada pemberontakan berdasarkan agama meletus, pemerintah tinggal mencomot haji-haji di daerah tersebut. Segampang itu.

Pengetatan dan kontrol haji memang terus berlangsung meski keterbukaan politik mulai diterapkan pemerintah kolonial pada awal abad 20.

Haji-haji di desa tetap diawasi dan pemimpin pergerakan yang bergelar haji (misalnya H.O.S Tjokroaminoto dan Haji Misbach) mendapatkan pengawasan ganda. Apalagi pemerintah mulai khawatir haji-haji ini mendapat pengaruh soal nasionalisme dan Pan-Islamisme ketika berada di Mekkah. Penyebaran Pan-Islamisme yang diusung Rasyid Rida dan kawan-kawan di Mesir memang sedang menemukan gaungnya di Hindia Belanda.

Baca Juga:New York Times Ungkap Aktivitas Rahasia CIA di UkrainaBerikut Daftar Nama Jalan yang Diubah, Anies Baswedan Gratiskan Ubah Dokumen Administrasi

Tapi segalanya berubah ketika Snouck Hurgronje tiba. Kedatangannya menandai akhir sebuah era dan dimulainya zaman baru.

Pada 1899, ia ditunjuk mengepalai Kantoor voor Inlandsche Zaken (Kantor untuk Urusan Pribumi), lembaga yang tugas utamanya memberi nasihat kepada Gubernur Jenderal. Sebagian besar perhatiannya tertuju pada persoalan Islam politik di Hindia Belanda.

Nasihat Snouck tentang Islam politik meruntuhkan kebijakan pemerintah terdahulu. Jika sebelumnya pemerintah menganggap “Islam” sebagai satu wajah yang menaungi segalanya (baik politik, ritual, spiritual, dan kultural), Snouck menyarankan agar ada pemisahan.

Pemerintah kolonial, menurut nasihatnya, perlu memperhatikan tiga bidang terpisah dalam mengambil kebijakan soal Islam: yang murni agama, yang bersifat politik, dan hukum Islam (syariat). Karena ketiganya berbeda, bagi Snouck, perlu juga pemerintah kolonial menghadapinya dengan pendekatan berlainan.

Demikian pula dalam urusan haji. Bagi Snouck, jemaah haji hanya perlu dicamkan melalui sudut pandang statistik, bukan politik. Para jemaah haji yang “politis” bukan mereka yang sekadar pergi haji kemudian pulang, melainkan orang-orang yang menetap lama di sana. Dan sebagian besar jemaah haji Hindia Belanda bukanlah orang-orang yang menetap lama.

Karena itu, ia menganjurkan, kebijakan haji harus berdasarkan kebebasan penuh, tidak perlu mencemaskan bahaya politik yang ditimbulkan oleh jemaah haji.

Dua pendiri organisasi Islam terbesar di Indonesia, Ahmad Dahlan (Muhammadiyah) dan Hasyim Asy’ari (Nahdlatul Ulama), bisa dijadikan contoh “haji politis” yang dimaksud Snouck.

0 Komentar