Seniman dan Jual-Gadai Kemiskinan

Seniman dan Jual-Gadai Kemiskinan
Edeng Syamsul Ma’arif
0 Komentar

Ini benar-benar absurd. Seperti epidemi Sampar yang tidak jelas asal-usulnya. Tidak pula terang bagaimana menyelesaikannya. Tapi saya bukan dokter Rieux. Meski, saya juga tidak berambisi jadi juru selamat dari penyakit sejenis Sampar ini. Saya hanya bisa mendiagnosis. Bukan juga Edgar Allan Poe yang menceracau karena halusinasi yang menggiringnya untuk melakukan pembunuhan kepada para terduga perampok yang menggedor-gedor pintu rumahnya.

Saya juga teringat Knut Hamsun. “Lapar” adalah sebuah karya sastra besar yang penuh keberanian, semangat, sekaligus keputusasaan dari sang pengarang. Sang Aku yang didera rasa lapar karena kemiskinan dan kesendiriannya terus berjuang demi dapat memenuhi isi perutnya dengan berbagai hal. Terkadang ia diliputi dengan optimisme yang meluap-luap, tetapi saat berikutnya ia bisa langsung terpuruk jatuh lantas menjadi seseorang yang layaknya kehilangan akal sehat. Ia memelas, mengembik, memaki, dan berbuat seenaknya pada hal-hal di sekitarnya, bahkan kepada Tuhan. Sungguh beraninya. Namun hal tersebut semata-mata diliputi oleh jiwa muda penuh semangat yang malang.

Di satu waktu, ia sangat begitu kelaparan hingga membuatnya tidak bertenaga dan kalang kabut. Tetapi di waktu lain ketika ia mendapat kesempatan untuk mendapat asupan makanan, ia malah menolaknya dan berpaling. Tapi kemudian kita dibuat sadar bahwa si Aku tersebut justru orang yang berprinsip dan memegang teguh nilai-nilai yang diyakininya. Ketika ia mendapat kesempatan mencuri, ia lantas menguburkan niatnya itu. Ketika seorang pelayan toko salah memberikan uang dalam jumlah yang cukup besar kepadanya, ia malah memberikannya kepada nenek penjual kue jalanan dan mengaku pada sang pelayan toko.

Baca Juga:Surat Terbuka untuk Rakyat Amerika, Saat Rusia Merayakan Kemenangan Perang Dunia II Atas NaziSkandal Mobil Pengintai Israel, Pernah Demo Penyadapan WiFi di Indonesia

Hamsun memberikan keyword pada novel “Lapar”: Saat paling bahagia adalah ketika aku menderita sebagai orang jujur. Tapi, terus terang, dengan berat hati saya belum bisa sepenuhnya bersikap jujur menyoal kenyataan perihal penyakit ganas dan menular itu di kota ini.***

Edeng Syamsul Ma’arif adalah esais, pegiat Lingkar Jenar dan Kelompok Arisan Buku (Kerabuku)

0 Komentar