Rektor UII Minta Gelar Akademiknya Tak Disandingkan dalam Dokumen Resmi Kampus: Gerakan Kultural Desakralisasi

Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Fathul Wahid/Net
Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Fathul Wahid/Net
0 Komentar

REKTOR Universitas Islam Indonesia (UII) Fathul Wahid menggaungkan desakralisasi gelar profesor dengan meminta gelar akademik yang dimilikinya itu tidak lagi disandingkan dengan namanya di berbagai surat atau dokumen resmi di kampus.

Hal itu tertuang dalam Surat Edaran Rektor UII Nomor: 2748/Rek/10/SP/VII/2024 kepada pejabat struktural di lingkungan UII yang secara resmi ia tandatangani di Yogyakarta, Kamis (18/7/2024).

“Untuk menguatkan atmosfer kolegial dalam tata kelola perguruan tinggi, bersama ini disampaikan bahwa seluruh korespondensi surat, dokumen, dan produk hukum selain ijazah, transkrip nilai, dan yang setara itu dengan penanda tangan Rektor yang selama ini tertulis gelar lengkap ‘Prof Fathul Wahid, ST, MSc, PhD’ agar dituliskan tanpa gelar menjadi ‘Fathul Wahid’,” tulis Fathul dalam edaran itu.

Baca Juga:Komnas HAM Terjun Langsung Tangani Kasus Kematian Wartawan TribrataTV di Karo4 Kecamatan 9 Desa 16.422 Jiwa Terdampak Banjir di Cirebon: Tanggul Sungai Jebol

Fathul mengatakan bahwa langkah tersebut ia tempuh sebagai sebuah gerakan kultural untuk mendesakralisasi jabatan profesor di Indonesia.

“Kalau yang saya lakukan, yang kecil ini diikuti saya akan sangat berbahagia dan kalau ini menjadi gerakan kolektif, banyak, kita mendesakralisasi jabatan profesor dan lebih menekankan profesor sebagai tanggung jawab, amanah akademik. Kita berharap profesi ini menjadi terhormat,” kata dia.

Fathul berharap gelar profesor tidak dianggap sebagai sebuah status sosial yang perlu dikejar-kejar.

“Jadi profesor itu ya tanggung jawab amanah. Tidak sesuatu status yang kemudian diglorifikasi, dianggap suci, sakral. Saya ingin seperti itu,” kata dia.

Dengan beban tanggung jawab yang besar, dia tidak ingin di Indonesia muncul sekelompok orang, termasuk para politisi dan pejabat yang justru memburu jabatan akademik tersebut dengan mengabaikan etika.

“Karena yang dilihat tampaknya lebih ke status ya. Bukan sebagai tanggung jawab amanah,” kata dia.

Fathul menegaskan bahwa jabatan profesor memang sebuah capaian akademik, akan tetapi yang lebih banyak melekat sejatinya adalah tanggung jawab publik.

Baca Juga:Ibu Kandung Pegi Setiawan Tolak Jalani Pemeriksaan Psikologi, Ini Alasan Kuasa HukumSurvey ARFI Institut Ungkap Hasil Elektabilitas Calon Wali Kota Cirebon: Eti Herawati di Urutan Ketiga

Meski begitu, semakin banyak profesor di Indonesia, menurut dia, tidak mudah mencari intelektual publik yang konsisten melantangkan kebenaran ketika muncul penyelewengan.

Peniadaan gelar itu, lanjut Fathul, sekaligus merawat semangat kolegialitas sehingga jabatan profesor tidak justru menambah jarak sosial di lingkungan kampus sebagai tempat paling demokratis di muka bumi.

0 Komentar