Putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/202 Berpotensi Belum Bisa Berlaku pada Pilkada 2024, Begini Kata Pengamat

Putusan terhadap perkara nomor 60/PUU-XXII/2024 yang diajukan Partai Buruh dan Partai Gelora itu dibacakan dal
Putusan terhadap perkara nomor 60/PUU-XXII/2024 yang diajukan Partai Buruh dan Partai Gelora itu dibacakan dalam sidang di gedung MK,
0 Komentar

DIREKTUR Eksekutif Indonesia Law and Democracy Studies (Ildes) Juhaidy Rizaldy menilai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 60/PUU-XXII/2024 berpotensi baru bisa berlaku pada Pemilu 2029 dan belum bisa berlaku pada Pilkada 2024. Alasannya, kata Rizaldy, tidak disebutkan secara gamblang di dalam putusan tersebut berlaku pada 2024. Selain itu, rangkaian tahapan Pilkada 2024 sudah dimulai.

Putusan MK Nomor 60 ini mengubah ambang batas persentase jumlah suara parpol dalam mengusung calon kepala daerah di tingkat provinsi, kabupaten, dan kota.

“Putusan 60 ini bisa saja tidak berlaku pada Pilkada 2024 karena tidak ditegaskan dalam putusannya kapan pelaksanaan putusan 60 ini, bisa jadi Pemilu 2029 karena tahapan pilkada sudah dimulai,” ujar Rizaldy kepada wartawan, Selasa (20/8/2024).

Baca Juga:Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyebaran Penyakit di Eropa Ingatkan Warga Waspada Risiko Virus MpoxKebakaran Kompleks Pertokoan Eks Hasil Pasar Raya 1 Salatiga Diduga Korsleting, 4 Kios di Blok A24-A27 Ludes

Menurut dia, putusan MK nomor 60 berbeda dengan putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang syarat minimal usia capres dan cawapres. Alasannya, dalam putusan MK 90, hakim konstitusi menyatakan dengan jelas putusan tersebut berlaku pada Pemilu 2024.

Sementara itu, kata Rizaldy, pada putusan MK 60 tidak disebut secara pasti waktu berlakunya dalam pilkada sehingga nantinya tergantung kebijakan pemerintah, DPR dan KPU untuk menindaklanjuti putusan tersebut.

“Berbeda dengan Putusan MK Nomor 90 Tahun 2023 soal minimal usia capres-cawapres di dalamnya itu tegas secara expressive verbis atau jelas dan nyata disebut pelaksanaan putusan itu berlaku pada Pilpres 2024,” tegasnya.

Rizaldy menjelaskan ketentuan yang diubah oleh MK merupakan jantung dari pilkada, yakni syarat pengusung pasangan kepala daerah oleh partai politik. Menurut dia, hal tersebut merupakan sesuatu yang sakral dan konstitusional dalam tahapan pilkada.

“Hal itu sakral dalam tahapan pilkada. Jadi isu ini adalah isu yang sangat konstitusional, bukan isu yang biasa. Jadi pengubahan dan pelaksanaan harus jeli dan membutuhkan waktu karena isunya fundamental secara konstitusi,” urainya.

Rizaldy mengakui putusan MK berlaku secara erga omnes atau putusannya berlaku saat diucapkan hakim MK. Namun, kata dia, pelaksanaan putusannya biasa disebutkan secara jelas oleh MK.

“Dalam hal eksekutorial atau pelaksanaan putusan MK biasanya disebut dalam setiap putusan MK. Ini bisa menjadi yurisprudensi dan itu menjadi pedoman menurut saya. Jadi harus disebut secara tegas dilaksanakan dan berlaku pada tahun kapan, agar pemerintah, DPR apalagi dalam hal ini ada KPU jelas untuk melaksanakan setiap putusan MK,” ungkapnya.

0 Komentar