Publisher Rights dan Good Journalism Berhadapan dengan Google

Publisher Rights dan Good Journalism Berhadapan dengan Google
Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu (baju merah) didampingi tiga anggota Dewan Pers, Asmono Wikan (paling kiri), Arif Zulkifli (kedua dari kanan), dan Atmaji Sapto Anggoro dalam pertemuan dengan Konstituen Dewan Pers, Jumat (14/7)/Ist
0 Komentar

“Tidak mungkin UU 40/1999 diabaikan, karena untuk membangun good journalism pangkalnya adalah itu. Saya juga setuju jangan sampai kita set back kembali ke masa yang lalu,” ujarnya.

Lebih lanjut Teguh menguraikan, persoalan utama yang dihadapi perusahaan pers yang tumbuh subur mengiringi perkembangan teknologi komunikasi dan informasi adalah ketiadaan partner ekonomi yang memadai. Platform digital global, sebutnya, hanya merupakan salah satu pihak yang dapat dijadikan partner untuk mendukung keberlangsungan hidup perusahaan.

Di daerah, sebutnya, kebanyakan perusahaan media siber mengandalkan kemitraan dengan berbagai lembaga pemerintah setempat untuk menopang pengembangan perusahaan pers. Hal ini pun melahirkan persoalan lain yang tidak kalah pelik.

Baca Juga:Kontroversi Pernikahan Kaesang-Erina, Pemerintah Abai Adanya Prokes Pertanda Tidak Ada Covid-19 di IndonesiaPoin-poin Penting Kepemimpinan yang Diciptakan Ada di Anies Baswedan

Untuk itulah JMSI memiliki bidang khusus yang diberi nama Bidang Pengembangan Potensi Daerah, yang tugasnya membantu perusahaan media siber anggota JMSI di daerah membangun kemandirian.

Selain itu, untuk mendorong praktik good journalism, JMSI juga sedang mengembangkan platform sendiri yang menghimpun berita-berita dari perusahaan media siber anggota JMSI yang telah diverifikasi Dewan Pers secara administratif dan faktual. Platform bernama SemuaNews itu akan diluncurkan akhir Juli ini.

Teguh juga mengatakan, bahwa persoalan platform digital global sebenarnya bukan persoalan Dewan Pers semata, melainkan persoalan bangsa dan negara.

Teguh kemudian mencontohkan keberhasilan Republik Rakyat China (RRC) menekan dan memaksa Google mengubah algoritma pencarian query Tiananmen sehingga tidak menampilkan peristiwa gerakan pro demokrasi Juni 1989, melainkan menampilkan objek wisata di sekitar Lapangan Tiananmen dan Istana Terlarang di Beijing.

“Google ditekan oleh pemerintah China untuk mengubah algoritmanya kalau dibuka di China. Dan Google tidak mau kehilangan 1,3 miliar audiens, maka dia ikuti permintaan China. Maka sebetulnya ini bukan perang antara Dewan Pers melawan platform global, menurut saya. Tapi ini persoalan negara punya kemandirian atau tidak?” demikian Teguh Santosa. (*)

0 Komentar