Polemik Volume Pengeras Suara, Ternyata Begini Sejarah Toa di Indonesia

Polemik Volume Pengeras Suara, Ternyata Begini Sejarah Toa di Indonesia
Masjid Ambarawa (IST)
0 Komentar

BARU-baru ini ukuran volume pengeras suara menjadi polemik di publik. Selama ini alat pengeras suara identik dengan nama ‘Toa’.

Toa jadi harus ada agar doktrinasi atau agitasi sampai ke telinga masyarakat sekitar. Tak hanya dalam berpolitik atau berdakwah saja Toa digunakan. Dalam berdagang, Toa juga dipakai pedagang keliling—dengan meletakkannya di atas kendaraan yang berjalan untuk woro-woro. Jadi, Toa sangatlah penting untuk merebut perhatian publik.

Di sebagian kampung di Indonesia, Toa sudah menjadi kata benda untuk menyebut: alat pengeras suara berbentuk kerucut. Padahal Toa sendiri sebenarnya merupakan salah satu merek asal Jepang. Ia menjadi brand yang akhirnya secara turun-temurun menjadi merek generik untuk sebuah produk. Sama halnya seperti sebutan Odol untuk pasta gigi, Sanyo untuk mesin air.

Baca Juga:Akibat Badai, 1 Unit Longboat Berpenumpang 10 Pemancing Terjebak di Pulau Siburu Mentawai, Berikut IdentitasnyaPLTN Zaporizhzhia Terbesar di Eropa Terbakar Akibat Gempuran Rusia ke Ukraina

Toa sendiri merupakan perusahaan yang didirikan oleh Tsunetaro Nakatani, seorang warga negara Jepang kelahiran 10 Agustus 1890. Ia sebenarnya bercita-cita menjadi fotografer, selepas memenuhi wajib militer. Ia terjun ke dunia usaha setelah mewarisi bisnis dari kakak iparnya, yang sebelumnya mengoperasikan bisnis di Senba, Osaka.

Dia memulai bisnisnya dengan bendera Toa Electric Manufacturing Company di Kobe—pada 1 September 1934. Sejak muda dia tertarik pada mikrofon. Tak heran jika mikrofon termasuk produk yang awal-awal dibuat Toa—bersama juga Horn Speakers dan Amplifiers.

Keterlibatan Jepang dalam Perang Dunia II sempat mengganggu bisnis, hingga akhirnya perusahaan mengungsi keluar dari Kobe. Menurut laman Toa, setelah kembali pada 1947, perusahaan mulai mengembangkan The Reflex Trumpet Horn Speakers—pengeras suara berbentuk corong/trompet. Bentuknya mirip dengan Toa-toa yang ada di masjid atau musala.

Toa membuat gebrakan penting lagi di tahun 1954, dengan merilis megafon listrik EM-202, yang diklaim sebagai: Megafon listrik pertama di dunia. Produk ini bahkan diekspor ke Amerika Serikat. Toa terus menyempurnakan produk megafon mereka. Seperti pengeras suara Toa, megafon juga sering dipakai dalam demonstrasi juga.

Toa masuk ke Indonesia melalui seorang pengusaha keturunan Tionghoa asal Bangka, Uripto Widjaja. Uripto adalah pemilik PT Galva yang merakit radio merek Galindra. Radio tersebut sezaman dengan kejayaan radio Tjawang yang diproduksi PT Transistor Radio Manufacturing Co—yang dirintis Gobel pendiri Panasonic Indonesia. Masa-masa Transistor Radio merakit TV dengan bekerja sama dengan National, Galva juga merakit TV dengan bekerja sama dengan Galindra.

0 Komentar