Polemik Tabungan Perumahan Rakyat: Belajar Sengkarut Kebijakan Belanda hingga Orde Baru

Foto pelantikan pengurus KORPRI Sub Unit Itjen Deppen, 11 Februari 1993. (IPPHOS/Khastara Perpustakaan Nasiona
Foto pelantikan pengurus KORPRI Sub Unit Itjen Deppen, 11 Februari 1993. (IPPHOS/Khastara Perpustakaan Nasional Republik Indonesia).
0 Komentar

Kemudian pada 1964, Undang-Undang Pokok Perumahan No. 1 tahun 1964 diterbitkan dengan fokus pada memberikan arahan pengadaan perumahan di Indonesia.

Selang 10 tahun berikutnya, dibentuk Badan Kebijakan Perumahan Nasional (BKPN), Perusahaan Umum Pembangunan Perumahan Nasional (Perum Perumnas), dan Bank Tabungan Negara (BTN).

BTN pada saat itu sebagai atu-satunya bank perumahan yang membuka akses pembiayaan rumah MBR (masyarakat berpenghasilan rendah) melalui kredit perumahan.

Baca Juga:Survey ARFI Institut Ungkap Hasil Elektabilitas Calon Wali Kota Cirebon: Eti Herawati di Urutan KetigaPersidangan Taipan Media Hong Kong Atas Tuduhan ‘Konspirasi Publikasi Hasutan’ Makan Waktu Lama

Lalu pada 1978 atau Era Orde Baru Soeharto, KPR mulai digalakkan dan urusan erumahan rakyat ditangani kementerian sendiri, dipimpin Menteri Muda Urusan Perumahan Rakyat.

Pada 1983, urusan perumahan yang tadinya ditangani Kementerian Muda menjadi setingkat Kementerian Negara Perumahan Rakyat.

Kemudian pada 1994, dibentuk adan Pertimbangan Tabungan Perumahan Pegawai Negeri Sipil (Bapertarum-PNS) sebagai pelaksana pengelolaan dana tabungan. 

Masuk ke awal 2000an, muncul perhitungan kuantitatif dengan istilah 1 juta backlog perumahan yang diresmikan dengan pencanangan Gerakan Pengembangan Sejuta Rumah (GNPSR) dan pada 2004, Kebijakan Perumahan Swadaya menjadi Prioritas dengan tiga program yang ditetapkan yakni Program Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS), Program Pembiayaan Rumah Swadaya (PRS), dan Program Kemitraan Perumahan Swadaya (KPS).

Selanjutnya pada 2005, lahir PT. Sarana Multigriya Finance (SMF) sebagai lembaga pembiayaan sekunder perumahan dan pada 2006 lahir Program Seribu Tower Rumah Susun Sederhana.

Di tahun 2010 atau era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), lahir bantuan pembiayaan Fasilitasi Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP).

Selanjutnya pada 2015, Presiden Joko Widodo mencanangkan Program Sejuta Rumah dan pada 2016, Undang-undang No. 4 tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) disahkan.

Baca Juga:Direktur Al Jazeera Salah Negm: Kerugian yang Kami Alami karena Penghentian Siaran Dibawa ke Jalur HukumBenda Bercahaya Kehijauan Melintasi Langit Yogyakarta, Pertanda Apa?

UU Tapera hadir dengan beberapa terobosan yang membawa angin baru bagi penyediaan dana murah jangka panjang untuk pembiayaan perumahan. Namun, terdapat beberapa aspek legal yang perlu diperhatikan di balik konsep baru yang dibawa oleh UU Tapera ini.

Sebagaimana tercantum dalam UU Tapera terdapat badan baru yang diamanatkan untuk mengelola Dana Tapera, yakni Badan Pengelola Tapera (BP Tapera).

Badan ini diberikan wewenang oleh undang-undang untuk menetapkan besaran alokasi Dana Tapera untuk keperluan pemupukan, pemanfaatan, dan cadangan. Kegiatan pemanfaatan merupakan kegiatan utama (core) dari Tapera, yakni kegiatan penyaluran Dana Tapera untuk pembiayaan perumahan Peserta Tapera yang digolongkan sebagai MBR.

0 Komentar