Pertaruhan Politik Kaum Santri Melawan Oligarki

Pertaruhan Politik Kaum Santri Melawan Oligarki
TSULIS AMIRUDDIN ZAHRI
0 Komentar

KONRTRIBUSI Nahdlatul Ulama (NU) terhadap tegak dan berdirinya NKRI tak bisa dipungkiri. Jasa NU menjaga NKRI dengan Ideologi Pancasila sebagai kesepakatan bersama berbangsa dan bernegara sangat jelas dari periode ke periode.

Mulai dari penghapusan tujuh kata dalam sila 1 Pancasila di Piagam Jakarta 1945, Resolusi Jihad NU 1945, hingga pemberian gelar waliyul amri adhoruri bis syaukah kepada Presiden Soekarno Tahun 1954 untuk mendelegitimasi DI/TII dan perlawanan NU terhadap pemberontakan PKI Tahun 1948 dan 1965.

Selain itu, NU telah berkontribusi menerima Pancasila sebagai asas tunggal pada tahun 1984. NU juga pasang badan mendukung sikap pemerintah dalam pembubaran HTI dan anasir-anasir gerakan intoleran yang merongrong ideologi Pancasila. Tak berlebihan jika NU mengklaim memiliki saham yang besar bahkan mungkin mayoritas atas berdirinya Republik Indonesia.

Baca Juga:Lowongan Kerja Lulusan SMA/SMK dari PT Industri Telekomunikasi IndonesiaSuzuki Ertiga Ludes Terbakar di Jalan Raya Pahlawan Seribu Serpong

Namun, romantisme kaum santri memiliki saham besar bagi berdirinya Republik Indonesia menjadi sebuah anomali. Faktanya, NU sebagai organisasi yang merepresentasikan pergerakan kaum santri, hanyalah pemegang saham minoritas.

Buktinya? Dari 31 Menteri/Kepala Lembaga Negara, NU hanya mendapatkan 5 Menteri atau hanya 16 persen dari total portofolio pengelolaan negara, itupun kementerian dengan anggaran kecil.

Hal ini semakin memperjelas pandangan Jeffrey A. Winters dalam bukunya “Oligarch” yang mengatakan bahwa Indonesia realitasnya tidak bertransformasi dari Otoritarianisme Soeharto ke demokrasi seperti yang dipahami oleh negara-negara liberal barat. Namun dari otoritarianisme bertransisi ke “criminal democracy”, yang artinya para oligark bergerilya di dalam sistem politik, membeli pengaruh di dalam partai-partai politik, bahkan di dalam pembentukan dan operasionalisasi partai-partai.

Apakah ini sebuah kabar buruk? Bagi kekuatan civil society tentu iya, tapi tidak bagi para pemilik modal dan jaringan korporasinya. Mari pelajari fakta berikutnya. Sebelum era demokrasi langsung, bandar politik hanya berperan di pinggir, mendanai politik melalui agen-agennya yang ada di institusi-institusi politik.

Pasca demokrasi langsung tahun 2004 di mana Pilpres dan Pilkada dipilih langsung dan Pileg tidak lagi mengenal nomor urut, bandar politik yang sebelumnya bermain dari luar arena, sekarang menjadi pemain langsung di tengah kontestasi politik. Dia yang mendanai, dia sendiri ikut berkontestasi, dia juga yang akan menjadi pejabat politiknya dan dia juga yang akan menangguk langsung berbagai proyek dari kekuasaan yang ia pegang.

0 Komentar