Perang Terbuka di Sungai Ciwaringin, Tutup Kembu Rangin

Perang Terbuka di Sungai Ciwaringin, Tutup Kembu Rangin
Sungai Ciwaringin tanggal 4 Februari 1818, saksi hidup pertempuran sengit antara para pejuang yang dipimpin Bagus Kandar dan Belanda, menurut Bataviasche Courant yang diterbitkan 9 Februari 1818. (Tropenmuseum)
0 Komentar

Rangin, seorang pahlawan

Ingatan kolektif masyarakat di beberapa kecamatan, yang menjadi wilayah jelajah perjuangan Bagus Rangin, seperti di Kecamatan Bangudua, Lelea, Cikedung, Terisi, Gabuswetan, hingga Lohbener menampilkan ingatan pada sosok Rangin dan para pengikutnya sebagai hero.

Lebih dari itu, beberapa di antaranya bangga sebagai bagian dari silsilah keluarga Bagus Rangin maupun anggota pasukannya, seperti Suryapringga, Leja, Kayim, Patah, Jatem, Sapidin, Ki Bagus Marsidem, dan lain-lain. Ada pula masyarakat yang secara turun-temurun menyimpan pusaka Bagus Rangin atau anggota pasukannya berupa keris, golok, badung batok, maupun kopyah waring.

P.H. Van der Kemp, salah seorang Belanda yang ikut menumpas gerakan Rangin menuliskan kesaksiannya dalam De Cheribonsche Ounlsten van 1818, Naar Oorpronkelijke Stukken.

Baca Juga:Juergen Kloop Yakin Lini Liverpool Tangguh Meski Fabinho Bakal Absen di Final Piala FAJelang Final FA Chelsea, Thomas Tuchel Ungkap Turunnya Duo Gelandang Mateo Kovavic dan N’Golo Kante

Ada beberapa yang ia sebut seperti (1) Bagus Nairem, demang Pedagangan (di halaman lain ia menyebut Pegadhangan). Ada kemungkinan adalah Desa Pekandangan di Kecamatan Indramayu; (2) Jabin, mengepalai kerusuhan di Kandanghaur; (3) Bagus Serrit (Rono Diwongso) dari Distrik Semarang; (4) Bagus Kundor, kabarnya anak Bagus Rangin; (5) Tiga orang pengacau: Sapie, Lejo, Ribut. Nama Sapie, kemungkinan adalah Sapidin; dalam tradisi lisan masyarakat Cikedung ada kisah persembunyian di pinggir kali seperti sapi. Sedangkan Lejo, sangat mungkin adalah Bagus Leja.

Sastrawan kelahiran Indramayu, Tandi Skober dalam novel “Namaku Nairem” menuliskan elegi kematian Serit dan Nairem: Hutan Jati Plered Cirebon, Rabu Pon, 18 Nopember 1818 berselimut kabut. Gerimis tipis di ujung malam jatuh di tanah basah. Hujan baru reda. Dua tokoh ‘pemberontak santri Cirebon’, Bagus Serit dan Nairem, tersenyum. Kedua kaki santri itu dirantai berjalan tertatih-tatih menuju tiang gantung eksekusi. Jemarinya sibuk berzikir kalimat-kalimat tauhid. Matanya tengadah memandang lengkung langit bertabur bintang. Di sana ada bulan sabit, pucat di balik awan. (*)

0 Komentar