Pantura: Jalur Favorit Pemudik, Jalur Diplomasi Belanda dan Mataram Islam

Pantura: Jalur Favorit Pemudik, Jalur Diplomasi Belanda dan Mataram Islam
Kendaraan pemudik yang melintas di Jalur Pantura Kota Tegal masih didominasi sepeda motor. (Foto: Setyadi)
0 Komentar

Daerah pesisir tersebut kemudian secara bertahap jatuh ke tangan VOC sebagai imbalan atas bantuannya kepada raja-raja Mataram sepeninggal Sultan Agung. Di wilayah Pesisir Utara yang dikuasai VOC ini terdapat lalu lintas jalan raya, kelak jadi Jalan Raya Pantura.

Jalan Pantura yang sudah ada pada masa Kerajaan Mataram hingga masa VOC tersebut mengalami revitalisasi pada masa Pemerintahan Hindia Belanda. Jalan Pantura ini menjadi bagian dari Jalan Raya Pos di Jawa.

Jalur Pantura dibangun pada masa Pemerintah Hindia Belanda dan dikenal dengan nama Groote Postweg atau jalan raya pos. Dahulunya jalur ini dikhususkan sebagai sarana pos informasi yang menghubungkan berbagai wilayah di pesisir Jawa.

Baca Juga:Mudik: Ada Sebelum Masa Majapahit, Terkikis di Masa Islam ke Tanah Jawa, Kembali Trend di Era 1970AS Melatih Warga Ukraina di Bekas Pangkalan Nazi Wehrmacht

Jalan ini dibangun membentang dari Anyer sampai Panarukan sepanjang 1.000 kilometer. Jalur Pantura juga dikenal sebagai jalan Daendels karena jalan ini dibangun pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels.

Salah satu alasan terpenting pembangunan jalan raya itu adalah karena ekonomi, yaitu mengangkut produk pertanian terutama kopi di wilayah Priangan. Ketika itu Daendels memang sedang membangun pelabuhan alternatif di Cirebon dan Tegal.

Pada 1808, dirinya mengumpulkan seluruh bupati di Pulau Jawa dan menugaskan mereka untuk membangun jalan yang akan melewati wilayah mereka. Sementara tenaga kerja yang dilibatkan berasal dari penduduk setempat dengan sistem kerja paksa.

Inisiasi Daendels untuk membangun Jalan Raya Pos – yang awalnya untuk menghubungkan Buitenzorg (Bogor) – Karangsambung– ini tertuang dalam Surat Keputusan (SK) tertanggal 5 Mei 1808.

Selanjutnya pembangunan dilanjutkan pada tahun 1809 dengan di mulai dari Anyer hingga menyusuri pesisir Pulau Jawa. Pemerintah Hindia Belanda berharap dengan adanya jalur ini, komoditi unggulan seperti kopi dapat didistribusikan ke pelabuhan dalam waktu singkat.

Namun ada kisah kelam di balik pembangunan Jalan Raya Pantura yaitu adanya sistem kerja paksa. Walau ada yang menyebut pembangunan ini tidak dapat disebut sebagai kerja paksa karena adanya upah kepada pekerja.

Direktur Jenderal Hindia Belanda pada saat itu menyiapkan upah untuk para pekerja, berupa uang, beras, dan garam. Namun, pemberian upah ini menjadi kabur karena tidak ada bukti sejarah apakah benar-benar sampai kepada para pekerja.

0 Komentar