Motivasi Ritual “Nyadran”

Motivasi Ritual "Nyadran"
Atho'Ilah Aly Najamudin
0 Komentar

ORANG Jawa identik dengan bermacam upacara selamatan. Baik upacara selamatan dalam pernikahan, kelahiran bayi, bahkan sampai upacara selamatan bagi seorang yang telah meninggal dunia. Di minggu terakhir sebelum bulan puasa, orang Jawa mementingkan ke kuburan orangtua atau leluhurnya. Orang menyebut dengan “nyadran” yang merupakan cara untuk mengagungkan, menghormati, dan memperingati roh leluhur.

Dalam tradisi orang Jawa, sebelum memasuki bulan Ramadhan, orang dari perantauan kembali ke kampung masing-masing hanya untuk melakukan ritual “nyadran” ini. Kebiasaan ini sudah menjadi tradisi kebudayaan yang terjadi hampir setiap kampung di Jawa.

Catatan Pengkaji Jawa

Banyak tulisan yang mendeskripsikan selamatan (slametan) yang di dalamnya ada ritual nyadran. Di antaranya Antropolog Clifford Geetz yang menyebut slametan merupakan bentuk ritual orang Jawa sebagai pusat dari seluruh sistem keagamaan orang Jawa. Pada realitasnya hingga saat ini slametan masih eksis di masyarakat Jawa. Meski arus puritanisasi Islam sering mengklaim bahwa ritual ini bidah, namun tidak banyak orang Jawa percaya pada hal itu.

Baca Juga:Warga Panik Berhamburan, Gempa Bermagnitudo 4.9 Guncang KendariAktor The Stranded, Beam Papangkorn Meninggal Dunia Ditemukan Tak Sadarkan Diri

Peneliti kebudayaan Jawa seperti Koentjaraningrat, Mark Woodward, Andrew Beatty, dan Masdar Hilmy menaruh perhatian mengkaji tentang selamatan, yang pada akhirnya memunculkan klaim yang beragam terhadap ritual. Diskursus yang diperselisihkan oleh pengkaji antara Geertz dan Woodward salah satunya klaim: apakah akar slametan dari tradisi Islam ataukah tradisi animistik Jawa.

Geertz mengatakan bahwa tradisi slamaten berasal dari tradisi yang kedua. Berbeda dengan Geertz, Woodward memandang bahwa spirit dari slametan adalah Islam, bukan animistik Jawa, adapun teknis ritual mengambil tradisi lokal. Pandangan yang lain, dari Masdar Hilmy yang berusaha menawarkan pendapatan perspektif holistik, dengan memandang slametan dari kacamata tekstual serta kontekstual. Hilmy berkesimpulan bahwa slametan bersifat sinkretik antara Islam dan tradisi lokal Jawa.

Para pengkaji tentang Jawa membuktikan bahwa tradisi slametan ini sangat menguat di akar rumput. Tidak mudah ditinggalkan bahkan telah menjadi siklus tahunan bagi orang Jawa. Tulisan ini ingin mendeskripsikan bagaimana orang Jawa dalam mempraktikkan ritual nyadran menjelang puasa Ramadhan.

0 Komentar