Marhaen: Ikon Dekolonisasi Sukarno

Marhaen: Ikon Dekolonisasi Sukarno
Soekarno dan sepeda (Sumber: geheugen.delpher.nl)
0 Komentar

SETELAH lulus sebagai Insinyur pada tahun 1926, Sukarno meluangkan waktunya untuk mempelajari kemungkinan-kemungkinan yang terbuka baginya. Dia menolak dua penunjukan pemerintah. Sebaliknya, ia menerima jabatan di Sekolah Institut Ksatriya yang dikelola oleh mentornya, Ernest F. E. Douwes Dekker; jangan sampai salah dengan Eduard Douwes Dekker dalam sejarah nasionalisme Indonesia, yang kemudian dikenal dengan nama Setiabudi yang terkenal dengan novel abad ke-19 Max Havelaar. Dalam karyanya, Eduard dikenal karena dakwaannya yang memberatkan terhadap administrasi Sistem Tanam Paksa. Eduard adalah kakek paman Ernest.

Di sekolah Ernest Douwes Dekker, Sukarno mengajar sejarah. Dalam Autobiography as Told to Cindy Adams (1963), dia mengakui bahwa gaya pengajaran sejarahnya yang menghasut membuatnya sangat menentang Inspektur Departemen Pendidikan yang sedang berkunjung dan menyebabkan penghentian pengangkatannya.

Selain Dekker, mentor lainnya adalah Tjokroaminoto dan Tan Malaka. Sukarno adalah konsumen sejarah Eropa. Di masa remajanya mulai tahun 1917, ia mulai mengenal sejarah Eropa dan berbagai pemikiran politik. Dia membaca tentang demokrasi, Fabianisme, Marxisme, dan sejarah sosialisme Eropa. Menurut sejarawan Australia J.D. Legge dalam Sukarno: A Political Biography (1972), pemaparan Sukarno terhadap gagasan-gagasan tersebut dalam berbagai cara telah memberikan kontribusi pemikirannya dalam membangun negara bangsa Indonesia.

Baca Juga:Dirut PT Citra Lampia Mandiri Helmut Hermawan Ditahan KPK Terkait Kasus Gratifikasi di Lingkungan KemenkumhamIntrik Kasus Eddy Hiariej

Sukarno mengaku pernah mencontoh Hegel, Kant dan Rosseau. Juga Voltaire. Permasalahan klasik Barat seperti peran negara dalam kehidupan ekonomi, atau batasan otoritas dan kebebasan individu sepertinya tidak relevan baginya. Menurut Legge, Sukarno sadar akan pemerintahan kolonial dan mampu bergulat dengan kondisi dominasi ekonomi di Hindia.

Menariknya, konsep kebebasan Sukarno adalah emansipasi nasional dan bukan kebebasan individu. Dalam studinya tentang sejarah, ia tertarik pada dua tema: kisah perjuangan nasional untuk kebebasan, dan sejarah organisasi kelas pekerja di Eropa. Sukarno cukup memahami imperialisme sebagai sistem kekuasaan dari Marxisme Alimin dan Semaun. Ini adalah keutamaan revolusi nasionalis yang mengesampingkan semua pertimbangan konflik sosial lainnya, yang mengikat rakyat Hindia.

Perjuangan Sukarno melawan kolonialisme, imperialisme dan dominasi menjadi latar belakang konsep ‘Marhaenisme.’ Sukarno sebelumnya sangat waspada terhadap relevansi konsep ‘proletariat.’ Keadaan sosial masyarakat agraris tidak dapat dibingkai seperti itu, ia mengingatkan. kita. Dalam pidatonya pada pertemuan 30 tahun Partai Nasional Indonesia di Bandung (dikutip dalam Legge) pada tahun 1957, ia membuat perbedaan yang jelas antara proletariat dan marhaen. Kaum proletar, kata dia, adalah kaum buruh yang tidak ikut serta dalam kepemilikan alat-alat produksi.

0 Komentar