Mampukah Berantas Sindikat Mafia Tanah?

Mampukah Berantas Sindikat Mafia Tanah?
Ilustrasi/Net
0 Komentar

Terbukanya celah persekongkolan kedua pihak dimulai dari persoalan regulasi. Berbagai aturan, mulai dari Undang-Undang Pokok Agraria, Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, bahkan Undang-Undang Cipta Kerja, semua hanya menjelaskan prosedur perolehan hak atas tanah maupun penguasaan lahan. Pengurusan perizinan maupun perolehan hak atas tanah tidak dapat dilakukan melalui Online Single Submission. OSS hanya dapat mengakomodasi sebagian kecil dari prosesnya.

Ketidakpastian tidak saja terletak pada aspek pemberian hak atas tanah seperti pengurusan perizinan, juga pada aspek pengawasan tata guna tanah hingga penertiban tanah terlantar. Aturan terkait pemberian hak atas tanah merupakan regulasi yang tidak memberikan kepastian hukum atas kemudahan pengurusan hak atas tanah. Misalnya terkait waktu maksimal pengurusan, keseragaman syarat antar-kantor wilayah BPN atau instansi terkait lainnya, di samping rumitnya pengurusan persyaratan pemberian hak atas tanah. Ini celah munculnya mafia tanah.

Demikian juga regulasi pada aspek pengawasan tata guna tanah, seperti pengurusan klarifikasi tanah yang terindikasi terlantar. Saat ini tidak ada aturan yang memuat waktu pengurusan, syarat pengurusan, biaya resmi, hingga kriteria teknis penetapan tanah terlantar.

Baca Juga:Menlu AS Antony Blinken: Negara Palestina Harus BerdiriKetum PSI Kaesang Pangarep Terkait Sedikitnya Pengeluaran Dana Kampanye: Salah Input, Nanti Dibenerin

Dapatlah disimpulkan bahwa mafia tanah tidak saja ‘beroperasi’ pada area pemberian hak atas tanah tetapi juga pada area pengawasan tata guna tanah dan penyelesaian sengketa pertanahan itu sendiri.

Pokok persoalan yang menyebabkan lahir dan berkembangnya mafia tanah adalah ketidakpastian hukum pada proses pelayanan pertanahan. Sebaliknya, sertifikat elektronik, biaya perolehan hak yang kini dipublikasikan, hingga usulan pembuatan pengadilan khusus pertanahan dalam RUU Pertanahan tidaklah menyangkut aspek proses pada pemberian hak atas tanah, pengawasan tata guna lahan, sehingga tidak efektif menyelesaikan masalah mafia tanah.

Demand atas jasa mafia tanah dimulai dari tidak pastinya proses pengurusan sehingga melahirkan berbagai potensi penyimpangan. Kondisi ini menyebabkan mafia pertanahan dengan leluasa beroperasi. Sebagai contoh, kepastian waktu dan syarat pengurusan atas pelayanan pertanahan baik pemberian hak atas tanah, pengawasan, maupun penertiban aspek tata guna tanah.

Klitgard (1994) menjelaskan bahwa salah satu penyebab persekongkolan yang bersifat koruptif yakni tiadanya aturan yang lengkap. Dampaknya, keputusan diambil berdasarkan diskresi oknum pejabat. Guna mengakhiri praktik lancung ini serta memutus mata rantai supply dan demand yang melibatkan para mafia tanah maka pemerintah setidaknya perlu melakukan dua hal.

0 Komentar