Mampukah Berantas Sindikat Mafia Tanah?

Mampukah Berantas Sindikat Mafia Tanah?
Ilustrasi/Net
0 Komentar

KASUS mafia tanah sedang mencuri perhatian publik. Istilah mafia tanah menjadi trending di media cetak dan elektronik sehubungan beberapa kasus pertanahan yang muncul secara beruntun.

Mafia tanah adalah dua orang bahkan lebih yang melakukan kejahatan sistematis, yang bertujuan untuk merebut hak atas tanah orang lain. Sindikat mafia tanah bukan menjadi hal yang baru di Indonesia.

Kondisi tersebut membuktikan bahwa fenomena mafia tanah terjadi di tengah masyarakat. Kepastian hukum semacam ini menjadi persoalan klasik yang hingga sekarang belum terpecahkan. Rendahnya ease of doing business atau tingkat kemudahan berusaha di Indonesia juga disebabkan karena kepastian hukum atas lahan.

Baca Juga:Menlu AS Antony Blinken: Negara Palestina Harus BerdiriKetum PSI Kaesang Pangarep Terkait Sedikitnya Pengeluaran Dana Kampanye: Salah Input, Nanti Dibenerin

Momentum tersebut bersamaan dengan penerbitan sertifikat tanah secara elektronik. E-sertifikat tertuang dalam Peraturan Menteri ATR / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2021. Jika penerbitan sertifikat elektronik dinilai sebagai upaya memberantas mafia tanah, sebenarnya tidak ada kaitan di antara keduanya. Demikian juga dengan tarif balik nama dan biaya perolehan hak atas tanah dan bangunan, yang baru-baru ini kembali disosialisasikan BPN.

Menurut Satgas Anti Mafia Tanah, modus operandi dari mafia tanah diantaranya pemalsuan dokumen (66,7%); kejahatan penggelapan (19,1%); pendudukan ilegal tanpa hak (11%); jual beli tanah sengketa (3,2%). Dalam melancarkan aksinya, mafia tanah selalu melibatkan orang-orang yang dapat meyakinkan pihak ketiga. Yang mengagetkan adalah, para mafia sering kali mengajak oknum dari BPN, pengadilan, stakeholder, dan notaris/PPAT.

Jorge Sanchez (1992), mendefinisikan mafia tanah sebagai kolaborasi oknum pejabat yang memiliki kewenangan dan pihak lain dengan itikad jahat yang merugikan negara dan masyarakat. Tujuannya untuk memiliki maupun menguasai tanah secara melawan hukum dan umumnya dilakukan dengan cara-cara yang koruptif.

Studi yang dilakukan di Sorbone University pada 2015 menunjukkan bahwa dalam kasus perampasan dan penguasaan lahan anggur milik masyarakat dalam 50 tahun terakhir di Eropa dan Australia dilakukan dengan cara persekongkolan yang melawan hukum antara oknum yang memiliki kewenangan dan pihak lain yang beritikad buruk. Demikian juga modus mafia tanah selalu disertai dengan tindakan-tindakan koruptif seperti gratifikasi.

Dapatlah dipahami bahwa mafia tanah merupakan persekongkolan antara pihak yang beritikad jahat dalam menguasai tanah dan oknum pejabat yang memiliki kewenangan dalam menerbitkan legalitas hak atas tanah dengan tujuan koruptif. Sehingga, mafia tanah cenderung menempatkan pihak yang lemah sebagai korbannya.

0 Komentar