Mahar Politik Mahal Darurat Integritas Pilkada: Biang Kerok Korupsi

Ilustrasi
Ilustrasi
0 Komentar

Penelusuran delik, rata-rata biaya yang dikeluarkan oleh calon kepala atau wakil kepala daerah dalam pilkada mencapai miliaran rupiah. Bahkan, pasangan calon juga harus mengeluarkan dana pilkada melebihi harta kas (total uang tunai, deposito, giro, tabungan) dan total harta kekayaan (sesuai LHKPN). 

Kondisi itulah, menurut studi KPK, menyebabkan paslon menutup kekurangan biaya dengan mencari dana tambahan melalui donasi. 

Elih Delilah dkk dalam Benturan Kepentingan Pendanaan Pilkada (INTEGRITAS: 2019) menyebutkan, secara umum pengusaha mendominasi sebagai donatur paslon dalam pemilihan.

Baca Juga:Survey ARFI Institut Ungkap Hasil Elektabilitas Calon Wali Kota Cirebon: Eti Herawati di Urutan KetigaPersidangan Taipan Media Hong Kong Atas Tuduhan ‘Konspirasi Publikasi Hasutan’ Makan Waktu Lama

“Penyandang dana perorangan pengusaha/pebisnis selalu mendominasi sejak Pilkada 2015 (18 persen), Pilkada 2017 (26,6 persen),” tulis Elih Delilah dkk.

Adapun pada Pilkada 2018, dominasi pengusaha berasal dari keluarga sebesar 38,1 persen dan di luar keluarga sebesar 40,9 persen. 

Kontribusi besar donatur itu bukanlah tanpa kepentingan. “Tidak ada yang namanya makan siang gratis,” demikian idiom yang sering terdengar di politik. 

Dari riset itu juga terbaca bahwa penyandang dana “tetap mengharapkan balasan di kemudian hari”. Harapan itu disampaikan “secara jelas dalam bentuk lisan maupun tertulis (perjanjian) dan sebagian besar calon kepala daerah akan memenuhi harapan itu ketika dia memenangkan pilkada atau menjabat.”

Sementara itu, kajian Litbang Kementerian Dalam Negeri menyebutkan biaya politik untuk menjadi bupati atau wali kota rata-rata Rp30 miliar, sedangkan biaya menjadi gubernur bisa mencapai Rp100 miliar. 

Apa itu mahar politik?

Dalam biaya politik itu juga terdapat “mahar politik”. Istilah mahar politik merujuk sejumlah uang yang diberikan kepada partai politik agar seseorang dipinang atau dicalonkan dalam pemilihan. 

Tanpa “mahar politik”, seseorang bisa terancam gagal maju dalam pemilihan. Direktur Sosialisasi dan Kampanye Antikorupsi KPK, Amir Arief, menyebutnya sebagai “uang perahu”. 

Baca Juga:Direktur Al Jazeera Salah Negm: Kerugian yang Kami Alami karena Penghentian Siaran Dibawa ke Jalur HukumBenda Bercahaya Kehijauan Melintasi Langit Yogyakarta, Pertanda Apa?

“Mahar diberikan untuk mendapat ‘stempel’ dan restu dari partai politik. Mereka berargumen, mahar politik ini perlu ada untuk menggerakkan mesin politik,” tutur Amir.

Padahal, Pasal 47 Undang-Undang Nomor 1 tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota Menjadi UU (kini, diubah dengan UU Nomor 10 tahun 2016), menyebutkan, partai politik dilarang menerima imbalan apa pun dalam proses pencalonan kepala daerah.

0 Komentar