Kho Ping Ho: Sri Sultan Hamengku Buwono IX, Gus Dur, Mahfud MD, Jokowi, Ma’ruf Amin hingga ‘Teman Kawanku Punya Teman’ Iwan Fals

Kho Ping Ho: Sri Sultan Hamengku Buwono IX, Gus Dur, Mahfud MD, Jokowi, Ma'ruf Amin hingga 'Teman Kawanku Punya Teman' Iwan Fals
Kho Ping Hoo adalah salah satu penulis cerita silat yang berani mengangkat tema bernuansa Tionghoa di era pasungan Orde Baru (Orba) terhadap kebudayaan Tiongkok. Lewat alur kisah fiksinya, pembaca, khususnya warga Tionghoa yang sudah “terputus” dengan hal-hal Tionghoa, dapat sedikit menyimak nuansa Tiongkok melalui karangannya yang sarat moral.
0 Komentar

Dan para pendekar dalam cerita silat Kho Ping Hoo tak lepas dari nalar tersebut. Setiap saat mereka harus berhadapan dengan persoalan-persoalan ketidakadilan yang harus mereka menangkan. Di lapangan bisnis, seperti halnya para pendekar tersebut, karya-karya Kho Ping Hoo berhasil memikat dan memenangkan hati para pembacanya.

Dalam Kho Ping Hoo & Indonesia (2012) yang disunting oleh Ardus M. Sawerga, Kho Ping Hoo mengungkapkan alasannya kenapa ia banyak menulis cerita silat, yaitu untuk mencurahkan hati dan melepaskan persoalan penindasan yang ada di dalam batinnya. Hal tersebut kiranya timbul karena hampir sepanjang hidupnya ia didera berbagai peristiwa yang merawankan perasaannya, mulai dari zaman Jepang, revolusi, sampai kerusuhan rasial yang meletus pada 1963 di Tasikmalaya dan menyeretnya untuk terus-menerus berpindah tempat tinggal.

“Dalam kehidupan sehari-hari saya sering menjumpai ketidakadilan, penindasan, dan kerakusan, tapi saya hanya bisa marah dalam hati. Untuk mengkritik saya tidak memiliki keberanian. Lewat cerita silat saya bisa mengkritik tanpa harus menyakiti perasaan siapapun,” tuturnya.

Baca Juga:Fredy Pratama Tidak Tersentuh di Thailand, Narkoba dan Mata-Mata: Asal Muasal Perang Narkoba yang Suram di Asia TenggaraUsung Kesetaraan Gender Hari Perempuan Sedunia, Dua Ratu Striking Bertarung di One Fight Night 20

Lewat para pendekar yang hidupnya dilalui dengan jalan pedang, ia hendak mengajak para pembacanya bukan lewat silatnya, melainkan melalui kehidupan para tokohnya, suka duka kehidupannya dalam menghadapi, mempelajari, menyelidiki, dan menanggulangi persoalan ketidakadilan yang terjadi di masyarakat.

Pada 22 Juli 1994, tepat hari ini 24 tahun yang lalu, Kho Ping Hoo meninggal di Tawangmangu. Pendekar itu telah mengakhiri jalan pedangnya. (*)

 

0 Komentar