Kho Ping Ho: Sri Sultan Hamengku Buwono IX, Gus Dur, Mahfud MD, Jokowi, Ma’ruf Amin hingga ‘Teman Kawanku Punya Teman’ Iwan Fals

Kho Ping Ho: Sri Sultan Hamengku Buwono IX, Gus Dur, Mahfud MD, Jokowi, Ma'ruf Amin hingga 'Teman Kawanku Punya Teman' Iwan Fals
Kho Ping Hoo adalah salah satu penulis cerita silat yang berani mengangkat tema bernuansa Tionghoa di era pasungan Orde Baru (Orba) terhadap kebudayaan Tiongkok. Lewat alur kisah fiksinya, pembaca, khususnya warga Tionghoa yang sudah “terputus” dengan hal-hal Tionghoa, dapat sedikit menyimak nuansa Tiongkok melalui karangannya yang sarat moral.
0 Komentar

“Karena Oej Kim Tiang menolak permintaannya, ia mencoba menulis sendiri—bukan menerjemahkan seperti Oej Kim Tiang, karena ia tidak menguasai bahasa Tionghoa dengan baik,” tulis Sobarie dalam harian Pikiran Rakyat edisi 10 November 2014.

Setelah itu lahirlah karya cerita silat bersambungnya yang pertama, Pedang Pusaka Naga Putih (Pek Liong Pokiam) pada 1958. Karya ini disukai pembaca, lalu menyusul berturut-turut cerita lain yang diterbitkan oleh Penerbit Analisa, Jakarta, seperti Si Teratai Merah (1959), Sepasang Naga Berebut Mustika (1960), Pendekar Bodoh (1961), Pedang Ular Merah (1962), Pendekar Sakti (1962), dan Pedang Penakluk Iblis (1962).

Menyadari karya-karyanya laris manis di pasaran, Kho Ping Hoo yang punya pengalaman sebagai pedagang, segera mengambil peluang ini dengan mendirikan perusahan percetakan umum bernama Jelita. Sejumlah karyanya yang pernah diterbitkan di majalah Selecta, Monalisa, dan Roman Detektif, ia kumpulkan dan terbitkan sendiri.

Baca Juga:Fredy Pratama Tidak Tersentuh di Thailand, Narkoba dan Mata-Mata: Asal Muasal Perang Narkoba yang Suram di Asia TenggaraUsung Kesetaraan Gender Hari Perempuan Sedunia, Dua Ratu Striking Bertarung di One Fight Night 20

Namun usahanya lewat Jelita terpaksa berumur pendek, karena pada 1963 Tasikmalaya dilanda kerusuhan rasial yang banyak memakan korban warga keturunan Tionghoa, termasuk dirinya yang kehilangan sejumlah harta yang ia kumpulkan selama bertahun-tahun di kota tersebut. Setahun setelah kerusuhan, ia memutuskan untuk meninggalkan Tasikmalaya dan pindah ke Solo .

Meski harta benda habis dan sejak zaman Jepang berkali-kali dirundung kekacauan di perantauan, ia tak lantas putus asa. Di Solo, ia mencoba bangkit dan menata kembali hidupnya. Kho Ping Hoo terus menulis dan bersama anak-anaknya mendirikan bisnis percetakan dan penerbitan bernama CV Gema pada tahun 1965.

“Ia lebih hebat dari saya. Ia tidak dapat membaca aksara Cina, tetapi imajinasi dan bakat menulisnya luar biasa. Ceritanya asli dan khas, sangat sulit ditandingi,” ujar Gan Kok Liong, maestro penerjemah cerita silat Cina dalam Bayang Baur Sejarah: Sketsa Hidup Penulis-penulis Besar Dunia (2003) karya Aulia A. Muhammad.

Sepanjang kiprahnya menulis cerita silat, dalam catatan Nana Suryana Sobarie dalam artikel “Reproduksi Buku Kho Ping Hoo” (Pikiran Rakyat edisi 10 November 2014), Kho Ping Hoo menulis 152 judul buku yang terdiri dari 127 cerita silat berlatar Tiongkok, dan 25 cerita silat berlatar Indonesia (Jawa). Sedangkan Leo Suryadinata menyebut angka 180 judul buku.

0 Komentar