KEMENTERIAN Luar Negeri (Kemenlu) menanggapi pengaduan Serikat Pekerja Angkutan Indonesia (SPAI) terkait kasus jenazah anak pengemudi ojek online (ojol) yang tertahan di Kamboja. Keluarga dimintai biaya pemulangan jenazah ke Indonesia hingga Rp 200 juta.
Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia (WNI) Kemenlu Judha Nugraha menyatakan pihaknya bersama KBRI Phnom Penh telah menerima pengaduan terkait kematian Handi Musaroni di Kamboja. Dia berujar, pihaknya kini tengah mengupayakan pemulangan jenazah.
“KBRI Phnom Penh telah berupaya untuk menelusuri perusahaan tempat Handi bekerja selaku pihak yang harus bertanggung jawab memulangkan jenazah. Namun, hingga saat ini perusahaan tidak dapat dihubungi,” katanya dalam keterangan resmi, Rabu (11/9/2024).
Baca Juga:Selamat Hari Radio Republik IndonesiaUMKM Dirugikan, Menkominfo Sebut Aplikasi TEMU Bahaya, Jangan Masuk ke Indonesia
Judha mengungkapkan, saat ini jenazah masih disimpan di Yim Funeral House yang difasilitasi KBRI. KBRI pun terus berkomunikasi dengan keluarga dan mengupayakan pemulangan sesuai dengan prosedur yang berlaku, serta sesuai dengan prinsip mengedepankan pihak-pihak yang bertanggung jawab.
Sebelumnya, Ketua SPAI Leily Pujiati menyampaikan Siti Rahmah ibu korban yang merupakan pengemudi ojol, telah dua kali mencoba menjalin komunikasi dengan Kemenlu, yakni pada 19 Agustus 2024 dan 10 September 2024 untuk mengetahui keberadaan jenazah sekaligus meminta bantuan pihak Kemenlu untuk kepulangan jenazah.
“Namun, usaha saya tidak mendapatkan jawaban yang baik. Pihak Kemenlu mengatakan jika benar anak saya korban perdagangan orang maka saya harus bisa membuktikannya,” kata Siti Rahmah melalui keterangannya yang diterima Selasa (10/9/2024).
Siti Rahmah menyampaikan, pihaknya sempat dimintai biaya pemulangan jenazah ke Indonesia senilai Rp 120 juta-200 juta.
“Jika tidak bisa membuktikan bahwa anak saya korban perdagangan orang, artinya saya tetap harus keluar biaya pribadi untuk memulangkan jenazah anak saya. Dari mana saya bisa mendapatkan uang sebesar Rp 120 juta sampai Rp 200 juta? Kita untuk makan saja susah,” tegasnya. (*)