Kelas Menengah dan “Chilean Paradox”, Ini Peringatan untuk Indonesia

Kelas Menengah dan “Chilean Paradox”, Ini Peringatan untuk Indonesia
Kepala Kampus Politeknik LP3I Aris Armunanto, SE. Ak., MM
0 Komentar

BPS mendefinisikan kelas menengah sebagai mereka yang memiliki pengeluaran per kapita antara 2 juta dan 9,9 juta rupiah per bulan, atau 3,5 hingga 17 kali garis kemiskinan Bank Dunia.

Menurut data BPS , jumlah calon kelas menengah, mereka yang berpenghasilan 1,5 hingga 3,5 kali garis kemiskinan atau antara 874.398 dan 2,04 juta rupiah per bulan naik dari 128,85 juta pada 2019 menjadi 137,5 juta tahun ini. Mereka membentuk 49,22 persen dari populasi Indonesia. Menyusutnya kelas menengah telah menaikkan bendera merah bagi beberapa ahli,yang mengatakan penurunan jumlah dan daya beli mereka dapat memicu kemerosotan ekonomi karena permintaan barang menurun.

“Penurunan kelas menengah Indonesia adalah alarm yang menandakan bahwa ekonomi dalam bahaya,” kata Bhima Yudhistira, Direktur Eksekutif lembaga think tank Centre for Economic and Law Studies (CELIOS).

Baca Juga:Selamat Hari Radio Republik IndonesiaUMKM Dirugikan, Menkominfo Sebut Aplikasi TEMU Bahaya, Jangan Masuk ke Indonesia

Pada 2018, konsumsi kelas menengah menyumbang 41,9 persen dari total konsumsi rumah tangga di Indonesia. Pada tahun 2023, angka ini turun tajam menjadi 36,8 persen, sejalan dengan perlambatan konsumsi rumah tangga secara keseluruhan, menurut data dari Lembaga Penelitian Ekonomi dan Masyarakat, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia (LPEM FEB UI).

Dan ketika kelas menengah menyusut, negara ini mengalami peningkatan produk domestik bruto tahunan sekitar 5 persen, yang juga melukiskan gambaran melebarnya ketimpangan kekayaan di Indonesia.

Beberapa ahli bahkan memperingatkan bahwa Indonesia dapat mengalami nasib yang sama dengan Chili, negara lain yang mengalami pertumbuhan ekonomi yang stabil tetapi populasi kelas menengah menurun. Ketidaksetaraan sosial dan kenaikan harga membuka jalan menuju protes dan kerusuhan selama bertahun- tahun di negara Amerika Selatan antara 2019 dan 2022.

Dan ketika presiden terpilih Prabowo Subianto bersiap untuk pelantikannya pada 20 Oktober, beberapa orang telah mengajukan pertanyaan atas janjinya untuk melanjutkan upaya ketenagakerjaan dan infrastruktur Joko Widodo, dan berapa banyak yang akan mereka berikan untuk bisnis baru dan pekerja Indonesia.

Bagaimana Pemerintahan Baru nantinya tetap menjaga pertumbuhan ekonomi dan dapat menyediakan lapangan kerja sesuai dengan keahlian pencari kerja serta menumbuhkan iklim investasi, dan memberikan kemudahan rakyatnya untuk mengakses pendidikan baik dari negeri maupun swasta, sehingga gap atau kesenjangan tidak semakin melebar. (*)

0 Komentar