Kapitalisme Merah Tiongkok, Oligarki Pancasila Indonesia

Kapitalisme Merah Tiongkok, Oligarki Pancasila Indonesia
(Wikipedia/File)
0 Komentar

Kemudian dua bulan setelah Mao mendeklarasikan Republik Rakyat Tiongkok (RRC), Belanda dan Indonesia juga mencapai kesepakatan pada Konferensi Meja Bundar mengenai beberapa syarat dan ketentuan. Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia. Sementara itu, urusan Papua Barat akan dibahas nanti. Perjuangan kemerdekaan, gelombang nasionalisme, dan dialektika geopolitik yang panjang tidak serta merta mengubah kemerdekaan menjadi surga bagi ibu pertiwi dan rakyat Indonesia. Dialektika ekonomi, politik dan demokrasi pasca proklamasi melahirkan instabilitas demokrasi dan kerawanan politik yang hampir mempengaruhi segala bidang. Hingga akhirnya di penghujung tahun 1950-an Soekarno harus mendeklarasikan dekrit presiden untuk mengakhiri era demokrasi kompetitif dan memulai era demokrasi terpimpin.

Selama 32 tahun berikutnya, Indonesia beralih dari demokrasi terpimpin ke demokrasi versi Orde Baru yang cenderung sangat diktator. Partai-partai difusi menjadi dua dan satu Kelompok Kerja (Golkar). Mafia Berkeley masuk ke kancah ekonomi, menguasai Bappenas, Kementerian Keuangan, dan beberapa kementerian lainnya. Perekonomian akhirnya booming karena dukungan perencanaan ekonomi yang cukup terukur dan karena diuntungkan oleh era Oil Booming di tahun 1970-an. Suharto “setengah hati” mencoba mengikuti gaya “Negara Pembangunan” (meminjam istilah Prof. Chalmers Johnson) yang diterapkan di Jepang.

Alhasil, pembangunan yang sarat dengan korupsi, kolusi, dan nepotisme di mana para oligarki (Jeffrey Winter menyebutnya oligarki kesultanan) berhasil dijinakkan di bawah komando jenderal bintang lima Suharto. Namun dibandingkan Mao (1949-1976), Suharto dinilai berhasil mentransformasi perekonomian Indonesia secara signifikan. Ketika Suharto berhasil mengambil alih kekuasaan dari Sukarno, Cina menghadapi kelaparan akibat kebijakan Lompatan Jauh ke Depan Mao Tse Tung. Tidak berhenti sampai di situ, penderitaan semakin parah ketika Mao melancarkan Revolusi Kebudayaan. China baru mulai membalikkan keadaan setelah Mao meninggal dan Deng Xiaoping, yang menggantikannya, meluncurkan kebijakan pintu terbuka setelah 1978.

Baca Juga:Penangkapan Tersangka Kartel Migor Bukan Gimmick Politik, Dugaan Rocky Gerung: Strategi Pemerintah ‘Kucing Mati’Amankan Idul Fitri 1443 Hijriyah, Danrem 063/SGJ Siapkan 3.500 Personel Bantu Polri

Cina memiliki sejarah kelam pada tahun 1989, sebelas tahun sejak Deng berkuasa, ketika transisi ke liberalisme ekonomi terhenti secara politik setelah kematian Hu Yaobang yang bertepatan dengan inflasi tinggi, memuncak pada 28 persen. Kita mengenalnya sebagai peristiwa Tianamen atau “Pembantaian Lapangan Tianamen”, dimana kerusuhan tersebut berakhir dengan pertumpahan darah terhadap mahasiswa dan demonstran. Deng tanpa ragu memerintahkan walikota Shanghai saat itu, Jiang Zemin, untuk mengakhiri demonstrasi dengan tank milik Tentara Pembebasan Rakyat, 15 April 1989.

0 Komentar