Jurnalisme Investigasi Ancam Kekuatan Tersembunyi?

Ilustrasi
Ilustrasi
0 Komentar

RENCANA revisi Undang-Undang Penyiaran mendapat gelombang kritik dari insan pers dan pegiat jurnalisme. Bukan tanpa sebab, RUU Penyiaran dinilai bakal memberangus kebebasan pers akibat sejumlah pasal-pasal bermasalah yang bercokol di beleid tersebut. 

Revisi yang sedianya diharapkan menciptakan asas keadilan bagi industri penyiaran di tengah era kemunculan media-media baru berbasis digital itu, kini justru dikhawatirkan menjadi pintu masuk pembungkaman pers.

Yang paling utama jadi sorotan dan kritikan ialah pasal yang melarang penayangan eksklusif jurnalistik investigasi. Dari draf yang beredar di masyarakat, semangat pembungkaman itu tertangkap jelas pada Pasal 56 Ayat 2 yang memuat larangan-larangan standar isi siaran. Terutama pada poin C yang menjelaskan larangan itu mencakup ‘penayangan eksklusif jurnalistik investigasi’. 

Baca Juga:Persidangan Taipan Media Hong Kong Atas Tuduhan ‘Konspirasi Publikasi Hasutan’ Makan Waktu LamaDirektur Al Jazeera Salah Negm: Kerugian yang Kami Alami karena Penghentian Siaran Dibawa ke Jalur Hukum

Belum lagi ditemukan beberapa poin dalam draf RUU Penyiaran, terutama soal larangan penayangan konten eksklusif investigasi jurnalistik dan tumpang tindih aturan penyelesaian sengketa jurnalistik antara Dewan Pers dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).

Dalam draf RUU Penyiaran terbaru, pada Pasal 50 B ayat 2 huruf (c), disebut penayangan eksklusif jurnalistik investigasi termasuk dalam larangan Standar Isi Siaran (SIS). Adapun dalam Pasal 42 ayat 2 sengketa jurnalistik penyiaran dilakukan oleh KPI sesuai aturan undang-undang, dan dalam Pasal 51 huruf E sengketa hasil keputusan KPI bisa diselesaikan lewat pengadilan.

Ruang kritik dari pers pun terancam mati oleh aturan tersebut. Dalam ekosistem jurnalistik, jurnalisme investigasi ialah salah satu nyawa yang tak boleh hilang atau dihilangkan. Tanpa jurnalisme investigasi, ruang informasi publik hanya akan diisi oleh laporan-laporan fakta yang ada di permukaan. 

Tidak ada penggalian fakta  tersembunyi atau fakta yang disembunyikan, yang ditutup-tutupi, dan yang paling berbahaya tidak ada ruang untuk membongkar ketidakadilan dan kesewenang-wenangan yang sampai hari ini masih dialami sebagian masyarakat. Ini artinya, bukan hanya pers yang dibungkam, melainkan juga suara masyarakat sipil.

Lagi pula, bila dilihat dari sisi urgensi, apa perlunya UU Penyiaran sampai harus mengatur jurnalisme investigasi? Dari sudut pandang mana pun, mengaitkan keduanya amatlah tidak tepat, bahkan mengada-ada. Pedoman dan tata cara jurnalisme di Tanah Air sudah diatur oleh UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, yang selama ini berfungsi untuk menjaga independensi dan kebebasan pers.

0 Komentar