Total dana 120.000 gulden, dari Pura Mangkunegaran. Menuai sukses, 8 tahun kemudian J.L. Reuneker mendirikan “Villa Reuneker” Salatiga yang kelak jadi hunian hingga akhir hayat. Villa “Henriette”, menjadi rumah tetirah jika ia dan istri anjang sana ke Solo.
Lantas apa yang membuatnya berjuluk seniman wayang?
Johan Leonard Reuneker lahir dan dibesarkan di Kota Solo, dari keluarga seniman wayang. Sang istri Siti Aminah, berasal dari keluarga bangsawan. Ia mencintai wayang sejak kecil, turut sang ayah pementasan di luar kota.
Meski dewasanya arsitek, ia hafal tokoh wayang dan cerita yang dipentaskan seperti Mahabarata. Ia belajar wayang dengan seniman senior wayang yakni Pangeran Koesoemodiningrat dan Prang Wedono dari Kasunanan Surakarta dan Tan Kiong Wie dari Kertosono Nganjuk.
“Cukup kompleks cerita cintanya dengan wayang orang
Baca Juga:4 Kecamatan 9 Desa 16.422 Jiwa Terdampak Banjir di Cirebon: Tanggul Sungai JebolIbu Kandung Pegi Setiawan Tolak Jalani Pemeriksaan Psikologi, Ini Alasan Kuasa Hukum
Ir. Herman Thomas Karsten arsitek Volksteather Sobokarti Semarang, menggandeng Johan Leonard Reuneker berkenaan desain tata ruang gedung. Rancangan awal ditolak karena set panggung dan penonton sejajar. Perubahan segera dilakukan, agar penonton bisa menyaksikan secara luas.
Kala Ir. Th. Karsten mendesain Ponten Mangkunegara di Kampung Kestalan, diketahui Johan Leonard Reuneker-lah yang menginisiasi gaya candi Hindu bagian sudut ponten. Tak lama,Johan Leonard Reuneker memutuskan pensiun dari arsitek dan fokus terhadap seni wayang.
Ia kemudian mendirikan wayang orang ‘Sri Koentjoro dan Darmo-Laksmi’ dan meninggalkan warisan wayang orang dan puluhan villa yang dibangun selama hidupnya.
Keluarga Reuneker memang sangat terkenal di Salatiga. Selama penelusuran di sejumlah rumah tua yang disebut sebagai rumah Reuneker, ironisnya memiliki reputasi sebagai rumah angker. Rumah tersebut berada di Jalan Pattimura. Rumah tua itu masih berdiri utuh, tetapi semak belukar serta rumput liar tumbuh tak beraturan di halamannya yang luas.
“Saya prihatin dan sedih. Rumah itu terbengkalai dan beredar cerita-cerita mistis. Padahal, rumah itu menyimpan reputasi sejarah seorang tokoh dan sahabat ulama besar Buya Hamka. Ada kisah toleransi yang tidak banyak orang tahu. Seharusnya, persahabatan Buya Hamka dan Reuneker menjadi soko guru kota toleransi di Salatiga,” ungkap Tjandra Widyanta yang mendampingi delik selama penelusuran keluarga Reuneker, Rabu (17/7).