J3 Cybercrime Unit Kejahatan Siber Kecil Penangkap CEO Telegram Pavel Durov

Pendiri dan CEO Telegram, Pavel Durov, menyampaikan pidato utama pada Mobile World Congress di Barcelona, ​​Sp
Pendiri dan CEO Telegram, Pavel Durov, menyampaikan pidato utama pada Mobile World Congress di Barcelona, ​​Spanyol [File: Albert Gea/Reuters]
0 Komentar

PENANGKAPAN CEO Telegram Pavel Durov di Prancis dipimpin oleh sebuah unit kejahatan siber kecil di kantor kejaksaan di Paris, yang dipimpin oleh Johanna Brousse.

Unit tersebut bernama J3 cybercrime, yang sudah menyelidiki Durov sejak awal 2024, karena Telegram sangat sering dipakai untuk kejahatan, dan yang membuat mereka kesal adalah Telegram tak pernah merespon permintaan dari penegak hukum di Prancis.

“Hampir tak pernah ada respon dari Telegram atas permintaan peradilan,” kata Jaksa Penuntut Laure Beccuau, seperti dikutip delik dari Reuters, Selasa (3/9/2024).

Baca Juga:Jokowi: Tanggal Pelantikan 20 Oktober, Saat Itu Bapak Prabowo Milik Seluruh Rakyat Indonesia Bukan GerindraRapat Pengesahan PKPUI Pilkada 2024 Dipercepat, Komisi II DPR: Percepatan Dilakukan agar Tak Ada Prasangka

Brousse, yang lulus dari National School for Judiciary pada 2010 mulai bekerja di unit J3 cybercrime sejak 2017, dan menjadi pemimpin di unit tersebut pada 2020.

Dalam sebuah wawancara dengan harian Liberation pada Januari lalu, Brousse menyebut unit yang ia pimpin menyadari bertambahnya pelanggaran hukum yang melibatkan Telegram dan Discord, dan ia ingin memberantas kejahatan yang terjadi di dua platform tersebut.

Unit J3 cybercrime yang dipimpin Brousse ini adalah unit penegakan hukum yang paling penting di Prancis dan punya yurisdiksi di seluruh Prancis. Namun tim ini sangatlah kecil, karena hanya berisi lima jaksa. Jauh lebih sedikit dibanding tim jaksa cybercrime yang dimiliki oleh Swiss, yang jumlahnya lebih dari 55 orang.

Dengan sumber daya yang sangat terbatas itu, Brousse mengaku harus memprioritaskan untuk memproses kejahatan yang paling serius. Wanita 38 tahun itu juga mengaku ingin terlihat tangguh dalam memproses kejahatan, agar para penjahat siber percaya kalau segala kejahatan siber terhadap Prancis akan diberi hukuman yang setimpal.

“Kami ingin penjahat dituntut, baik itu di negaranya ataupun di Prancis lewat surat perintah penangkapan,” ujarnya dalam sebuah podcast yang dipublikasikan pada 2022.

Namun pada kasus Telegram, pengacara Durov menyebut tuntutannya tidak masuk akal, yaitu karena platformnya dianggap bertanggung jawab atas berbagai kejahatan seperti penyebaran pornografi anak, obat-obatan terlarang, dan software peretasan, serta menolak bekerjasama dalam penyelidikan aktivitas ilegal.

Penyidikan terhadap kasus Telegram ini pun bisa saja berlangsung selama bertahun-tahun sebelum akhirnya Durov menghadapi persidangan. Namun yang jelas saat ini ia bisa bebas dengan uang jaminan 5 juta Euro atau sekitar Rp 86 miliar, dan dilarang meninggalkan Prancis. (*)

0 Komentar