Isu Pelanggaran Hak Asasi Manusia China di Olimpiade Beijing

Isu Pelanggaran Hak Asasi Manusia China di Olimpiade Beijing
0 Komentar

CHINA terakhir menjadi tuan rumah Olimpiade pada tahun 2008 – saat genosida berkecamuk di wilayah Darfur, Sudan. Dalam laporan Human Rights Watch berjudul China’s Involvement in Sudan: Arms and Oil, Beijing menanggung genosida itu dengan dana miliaran yang dibayarkannya kepada Sudan untuk minyak . Sebagian besar dari pendapatan minyak itu digunakan untuk mendanai pemboman, penghancuran desa dan pembantaian orang tak berdosa di Darfur.

Meskipun minyak adalah mata rantai terkuat, Beijing juga menjual senjata kepada rezim di Khartoum dan mempertahankan hubungan diplomatik bahkan ketika Sudan dijauhi oleh komunitas internasional. Sebelum Olimpiade Musim Panas 2008, sebuah artikel berjudul The ‘Genocide Olympics’ mendesak China untuk menggunakan pengaruhnya yang besar untuk membujuk rezim di Khartoum dan menghentikan pembunuhan di Darfur dengan mengizinkan masuknya pasukan penjaga perdamaian internasional.

Saat ini, 14 tahun kemudian,  Tahun Baru China, shio Macan Air, Beijing diduga melakukan genosida di tanahnya sendiri. Sekitar 3 juta warga Uyghur, Kazakh dan masyarakat Muslim Turki lainnya di wilayah Xinjiang China telah ditangkap dan dipenjarakan di kamp-kamp. Pada 2019, lebih dari 880.000 anak-anak Uyghur telah dipisahkan dari orang tua mereka dan ditempatkan di fasilitas negara. Orang-orang yang selamat dari kamp melaporkan kekejaman yang paling terburuk dan menyedihkan.

Baca Juga:Fraksi PKB DPR Imbau Media Online Jangan Terjebak Jurnalisme ClikbaitWaspada, Banyak Akun Palsu atas Nama PStore

Pemerintah Amerika Serikat telah mengidentifikasi pelanggaran hak asasi manusia di China sebagai “pembunuhan sewenang-wenang atau melanggar hukum oleh pemerintah; penghilangan paksa oleh pemerintah; penyiksaan oleh pemerintah; kondisi penjara dan penahanan yang keras dan mengancam jiwa,” sterilisasi paksa dan aborsi paksa. Laporan tahun 2020, Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat menyatakan “pengawasan dan pemantauan teknis yang mengganggu; pembatasan serius terhadap kebebasan berekspresi, pers, dan internet, termasuk serangan fisik dan penuntutan pidana terhadap jurnalis, pengacara, penulis, blogger, pembangkang, pembuat petisi, dan lainnya serta anggota keluarga mereka.” Termasuk kerja paksa, pekerja anak, perdagangan orang dan “pembatasan dan penindasan berat terhadap kebebasan beragama.”

Pemerintah Amerika Serikat dan negara-negara lain menyebut kekejaman ini sebagai genosida.

Pengamat politik China di Departemen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada, Nur Rachmat Yuliantoro, mengatakan, bahwa isu pelanggaran HAM atas minoritas Uighur telah lama menjadi “senjata diplomasi”, dalam konteks yang berbeda antara Pemerintah China dan Barat, terutama AS. Keduanya menjadikan isu ini sebagai bahan propaganda melalui media masing-masing.

0 Komentar