JAKARTA-Indonesia Corruption Watch (ICW) menemukan 252 kasus korupsi anggaran desa sepanjang 2015-2018. Peneliti ICW Egi Primayogha mengatakan, jumlah tersebut terus meningkat dari tahun ke tahun.
“Pada tahun 2015 terdapat 22 kasus, pada tahun 2016, meningkat menjadi 48 kasus, pada tahun 2017 dan 2018 meningkat menjadi 98 dan 96 kasus,” ujar Egi melalui keterangan tertulisnya, Sabtu (16/11/2019).
Ia juga mencatat sejumlah modus-modus dari korupsi anggara desa, seperti penyalahgunaan anggaran, laporan fiktif, penggelapan, penggelembungan anggaran, dan suap.
Baca Juga:Agnez Mo: Orang-orang Hanya Ingin Memelintir Ucapan dan Maksud SayaRidwan Kamil Ingin APPSI Jadi Asosiasi yang Berpengaruh
Oleh sebab itu ia meminta keseriusan Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Desa, Kementerian Keuangan, BPK, bahkan aparat penegak hukum untuk memeriksa secara langsung dugaan desa fiktif.
Lebih lanjut, Egi mengatakan, pemerintah harus melakukan langkah pemeriksaan secara menyeluruh, tidak hanya mencakup desa-desa terindikasi fiktif yang namanya kadung tersebar di publik luas.
“Dalam hal pendataan, semestinya Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Desa PDTT bertanggungjawab. Verifikasi perihal data desa penting untuk dilakukan agar dana desa yang tersalurkan tak salah sasaran atau disalahgunakan,” ujarnya.
“Masalah pendataan desa yang tak akurat di pemerintah daerah harusnya bisa diatasi dengan pengawasan, pembinaan, dan sinergi antar instansi.”
Begitu juga dengan Kementerian Keuangan yang dipandangnya harus konsisten dalam pengetatan mekanisme pencairan. Kemenkeu juga dituntut harus tegas apabila menemukan penyelewengan dalam penyaluran dana desa.
“Sanksi diberikan tidak hanya kepada desa yang menyeleweng, tetapi sanksi lain juga patut diberikan kepada aparat pemerintah di tingkat kabupaten/kota atau provinsi,” ujarnya.
Selain itu, Egi menilai BPK harus lebih dalam dari temuan yang ada di audit-audit sebelumnya.
Baca Juga:Rest in Peace Pak CiPasar Ciawitali Belakang Kantor Damkar Ludes Terbakar
“Jangan sampai pada akhirnya publik berkesimpulan bahwa BPK tak berkompeten dan tak bekerja serius dalam mengawasi dana desa,” ujarnya.
Ia juga menegaskan, pemerintah baik pusat dan daerah harus bersikap terbuka dalam memaparkan persoalan dana desa. Sehingga tidak menimbulkan kekacauan di masyarakat.
“Jika desa fiktif benar-benar terbukti, publik akan dirugikan karena dana desa menggunakan anggaran milik publik,” tutupnya. (*)