Gang of Four-Geng Sembilan, Misteri Group Pengusaha Penguasa Bisnis di Indonesia

Gang of Four-Geng Sembilan, Misteri Group Pengusaha Penguasa Bisnis di Indonesia
Presiden direktur PT Pratama Abadi Nusa Industri Tbk Sugianto Kusuma alias Aguan (kiri) (Instagram @prabowo)
0 Komentar

Meski demikian, istilah 9 naga masih jadi pembicaraan di kalangan masyarakat di Indonesia, hal itu muncul bukan tanpa sebab. Beberapa dekade sebelum sebutan 9 naga muncul, ada sebutan ‘Gang of Four’ atau ‘Empat Sekawan’ yang dinilai jadi penguasa ekonomi Orde Baru.

Awal mula ‘Gang of Four’ bermula dari pertemuan empat orang, yakni Sudono Salim, Sudwikatmono, Ibrahim Risjad, dan Djuhar Sutanto sekitar 1968.

Sebelum bertemu, keempatnya tidak mengenal satu sama lain dan sibuk dengan urusan masing-masing. Salim dan Djuhar sibuk berdagang. Sementara Sudwikatmono atau Dwi dan Risjad menjalani pekerjaan sebagai karyawan perusahaan biasa. Mereka bertemu satu sama lain tanpa disengaja.

Baca Juga:Mengungkap Kepala Naga di Sunda KelapaMimpi Jawa Barat Kepala Naga di Kertajati

Bermula dari pertemuan Salim dan Sudwikatmono. Sejak tahun 1960, Salim sudah dikenal sebagai pengusaha ulung.

Bisnisnya bergerak di sektor manufaktur dan ekspor-impor. Sekali waktu di tahun 1963, Salim yang memang dekat dengan Soeharto, dipanggil ke kediaman Jenderal itu di Menteng.

Kebetulan, Dwi sedang piket menjaga rumah Soeharto yang kebetulan masih sepupunya.

Dwi, sebagaimana dipaparkan Richard Borsuk dan Nancy Chng dalam Liem Sioe Liong’s Salim Group  tahun 2014, melihat Salim berbincang dengan saudaranya itu selama satu jam.

Saat hendak pulang, Salim tiba-tiba meminta Dwi datang ke kantornya di Jl. Asemka esok hari. “Keesokan harinya, saya bertemu dengan Om Liem. Dia meminta saya untuk bergabung dalam bisnisnya karena Pak Harto telah mengusulkan nama saya. Saya ditawari gaji bulanan Rp 1 juta dan saham di perusahaan,” tutur Dwi kepada Richard Borsuk dan Nancy Chng.

Dwi terkejut. Dia jelas bak tertimpa durian runtuh karena tidak pernah mendapat uang sebanyak itu. Sebelumnya, ia hanya pegawai biasa dengan gaji Rp. 400 rupiah.

Jelas, dia menerimanya. Belakangan, Pak Harto memaparkan kalau alasan penunjukan itu karena Salim belum jadi orang Indonesia. Akibatnya, dia susah mendapat pinjaman. Maka, untuk mengatasi ini Soeharto menunjuk Dwi sebagai jaminan.

Baca Juga:Deep State dan Pemerintahan Bayangan Kuasai Dunia?Gempa Sumedang, BNPB: Terowongan Kembar Tol Cisumdawu Alami Keretakan

Dwi tak bisa menolak. Alhasil, dia menerima permintaan dan masuk ke dalam perusahaan milik yayasan Soeharto, PT. Hanurata, dalam bentuk saham 10 persen. Sejak saat itu, hubungan Salim-Dwi semakin erat.

0 Komentar