Emisi Karbon Baliho Calon Legislatif, Emisi Gas Rumah Kaca Indonesia Diperkirakan Capai 2,8 Miliar Ton Tahun 2030

Emisi Karbon Baliho Calon Legislatif, Emisi Gas Rumah Kaca Indonesia Diperkirakan Capai 2,8 Miliar Ton Tahun 2030
Sejumlah Alat Peraga Kampanye (APK) tampak ditempel di pepohonan, di jalan Angkatan 45 Palembang, Sumsel, Rabu (23/5). (Antara)
0 Komentar

PEMILU 2024 diperkirakan kurang dari 8.000 calon legislatif dari 24 Partai Politik yang siap bertarung berebut kursi wakil rakyat yang tersebar 80 daerah pemilihan yang tersebar di seluruh Indonesia. Jumlah tersebut belum termasuk jumlah calon presiden dengan mesin-mesin politiknya.

Dalam diskusi terbatas bersama delik.tv terungkap baliho politik berpengaruh pada lingkungan. Baliho umumnya memakai bahan plastik. Sementara plastik terbuat dari minyak bumi yang mendapatkannya dengan cara merusak alam. Belum lagi jika baliho itu teronggok menjadi sampah yang menghasilkan gas metana—gas rumah kaca yang berbahaya ketika mengotori atmosfer.

“Apabila satu orang caleg mendistribusikan masing-masing 10.000 baliho, poster, spanduk, kartu nama, dan alat peraga lainnya yang masif dan akan memenuhi sudut dan sepanjang jalan hingga pelosok kampung, maka bukan rimbun oleh pepohonan negeri kita yang subur makmur ini,” ujar Kepala Kampus Politeknik LP3I Cirebon Aris Armunanto menyampaikan paparannya, Senin (8/1).

Baca Juga:Antony Blinken Mendarat di Israel dalam Permainan Kentang PanasBalas Prabowo Subianto, PDI Perjuangan Luruskan Sistem Persenjataan Bung Karno

Yang menjadi persoalan, lanjutnya, banner merupakan material yang sulit didaur ulang. Dengan banyaknya sampah banner pasca-kampanye yang mencapai ribuan di berbagai wilayah, hal ini akan menjadi beban lingkungan tersendiri.

Aris menambahkan bahan spanduk dan banner kebanyakan adalah flexi (flex), yang merupakan kombinasi material PVC (poly-vinyl chloride), sejenis plastik. Tipe-nya yang merupakan polimer sintetis, menyebabkan material ini sulit untuk terurai. Bahkan kemungkinan material jenis ini baru bisa terurai puluhan ataupun ratusan tahun kemudian.

Jika dibakar, ungkap Aris, akan menghasilkan emisi beracun yang berakibat buruk pada kesehatan, memicul kanker dan kemandulan. RDF ataupun insenerasi bisa jadi merupakan opsi, namun biaya ini terlalu mahal, dan model ini hanya mungkin dijalankan untuk skala komersil.

Apalagi, lanjut Aris, berdasarkan PKPU Nomor 18/2003 pasal 8, bahwa Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah mengatur batasan mengenai sumbangan dana kampanye untuk pemilu 2024. Dana kampanye untuk Pemilu 2024 dapat diperoleh dari perseorangan maupun kelompok, perusahaan, atau badan usaha non-pemerintah.

“Untuk anggota DPR, perseorangan maksimal Rp2,5 milyar dan perusahaan atau Rp25 milyar. Asumsikan untuk pengadaan APK 30 persen dikalikan saja dengan jumlah caleg 8.000 orang dari 24 partai politik yang bertarung, akan menghasilkan jumlah fantastis senilai Rp6 triliun. Lantas, harus dikemanakan dan diapakan setelah menjadi sampah banner ini?” imbuhnya, Senin (8/1).

0 Komentar