#Dirumahaja, KDRT dan Perceraian Meningkat Selama Pandemi

#Dirumahaja, KDRT dan Perceraian Meningkat Selama Pandemi
Ilustrasi (Antara)
0 Komentar

https://twitter.com/antonioguterres/status/1246973397759819776?s=20

”Hari ini saya memohon perdamaian di rumah di seluruh dunia. Saya mendesak semua pemerintah memprioritaskan keamanan perempuan di masa pandemi ini,” tambah Guterres kala itu.

Emiliana Quispe, anggota kelompok feminis Mujeres Creando (Perempuan Menciptakan), membuat masker berbahan kain untuk masa pandemi Covid-19 di dekat tembok bertuliskan kata-kata yang artinya ”Perempuan tidak terlahir untuk menjadi pelacur” di La Paz, Bolivia, 5 Mei 2020.

Badan Kependudukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNFPA) memperkirakan, akan ada 31 juta kasus kekerasan domestik di dunia jika penutupan wilayah berlangsung hingga enam bulan. Untuk setiap perpanjangan penutupan wilayah selama tiga bulan, akan ada 15 juta kasus kekerasan berbasis jender di dunia.

Baca Juga:Gubernur Anies Resmi Terbitkan Pergub Larangan Keluar-Masuk JakartaPresiden Jokowi Tegaskan Belum akan Longgarkan Kebijakan PSBB

Psikolog asal London, Lucy Atcheson, mengatakan, orang-orang menjalani karantina wilayah dan berada di rumah akan mempererat kebersamaan. Namun, bagi sebagian sebaliknya, yakni memperuncing perbedaan dan meningkatkan konflik.

”Ini bagaikan menempatkan semua masalah ke dalam penggorengan dan memanaskannya,” ujar Atcheson yang selama melayani konseling daring.

”Terkadang situasi ini membuat kita sadar, betapa singkat hidup ini. Kalau kita ada dalam hubungan yang buruk, kita akan meninggalkannya karena sadar hidup ini terlalu singkat untuk dijalani menderita,” lanjut Atcheson.

Perceraian

Selain kekerasan dalam rumah tangga, karantina wilayah juga memunculkan dampak sosialnya yang lain terhadap hubungan keluarga, yakni perceraian. Mengutip informasi dari media lokal di China, pada akhir Maret 2020 harian The New York Times melaporkan bahwa permohonan perceraian meningkat di setidaknya dua provinsi di China, yaitu Sichuan dan Shanxi. Kota Dazhao di Provinsi Sichuan, misalnya, menerima hampir 100 permohonan cerai dalam kurang dari tiga minggu.

Di Jepang isilah ”perceraian korona” juga menjadi tren di media sosial untuk menggambarkan kondisi pernikahan banyak pasangan di Jepang. Twitter menjadi media untuk menumpahkan kekesalan para istri yang frustrasi dan marah terhadap suaminya.

Tingginya perceraian membuat perusahaan rintisan di Tokyo menyediakan layanan menginap di apartemen bagi pasangan yang sedang mempertimbangkan berpisah. Apartemen ini menjadi ”penampungan sementara” yang sunyi bagi mereka yang ingin mengakhiri hubungan dengan pasangannya untuk berpikir dengan jernih sebelum bertindak.

0 Komentar