Cerita Julius Tahija hingga Lisa Pease Tentang JFK, Indonesia, CIA dan Freeport

Penandatanganan kontrak pengelolaan tambang di Papua antara Freeport dengan pemerintah Indonesia, 1967. Foto:
Penandatanganan kontrak pengelolaan tambang di Papua antara Freeport dengan pemerintah Indonesia, 1967. Foto: The Netherlands National News Agency (ANP).
0 Komentar

Tahija pun mematahkan ini. “Kalau mereka memang bagus, mengapa memerlukan dukungan pemerintahnya? Seharusnya hubungan bisa dilakukan secara bisnis saja,” kata Tahija kepada anggota kabinet, tanpa menyebut nama.

Seiring itu dia mengangkat-angkat PT Freeport dengan segala macam pengalamannya.

Kerisauan Dewan Komisaris Freeport tentang pemerintah Indonesia yang anti-modal asing juga terpecahkan. 

Menyusul peristiwa G30S, Bung Karno goyang. Para pendukungnya berguguran. Ada yang mati, banyak yang dikerangkeng. 

Baca Juga:Ibu Kandung Pegi Setiawan Tolak Jalani Pemeriksaan Psikologi, Ini Alasan Kuasa HukumSurvey ARFI Institut Ungkap Hasil Elektabilitas Calon Wali Kota Cirebon: Eti Herawati di Urutan Ketiga

Dalam keadaan “tak berdaya”, 10 Januari 1967, Bung Karno menandatangani Undang-Undang Penanaman Modal Asing (UU PMA) No 1/1967. 

Tiga bulan kemudian, persisnya April 1967, PT Freeport dan Indonesia teken kontrak. Inilah kontrak pertama di bawah UU PMA. 

Selamat datang Freeport… 

Lisa Pease menulis artikel berjudul “JFK, Indonesia, CIA, and Freeport” dan dimuat dalam majalah Probe edisi Maret-April 1996.

Tulisan bagus ini disimpan di dalam National Archive di Washington DC. Dalam artikelnya, Lisa Pease menulis jika dominasi Freeport atas gunung emas di Papua dimulai sejak tahun 1967, namun kiprahnya di Indonesia sudah dimulai beberapa tahun sebelumnya. Freeport Sulphur, demikian nama perusahaan itu awalnya, nyaris bangkrut berkeping-keping ketika terjadi pergantian kekuasaan di Kuba tahun 1959.

Saat itu Fidel Castro berhasil menghancurkan rezim diktator Batista. Oleh Castro, seluruh perusahaan asing di negeri itu dinasionalisasikan. Freeport Sulphur yang baru saja hendak melakukan pengapalan nikel produksi perdananya terkena imbasnya. Ketegangan terjadi.

Menurut Lisa Pease, berkali-kali CEO Freeport Sulphur merencanakan upaya pembunuhan terhadap Castro, namun berkali-kali pula menemui kegagalan. Di tengah situasi yang penuh ketidakpastian, pada Agustus 1959, Forbes Wilson yang menjabat sebagai Direktur Freeport Sulphur melakukan pertemuan dengan Direktur Pelaksana East Borneo Company, Jan van Gruisen.

Dalam pertemuan itu Gruisen bercerita jika dirinya menemukan sebuah laporan penelitian atas Gunung Ersberg (Gunung Tembaga) di Irian Barat yang ditulis Jean Jaques Dozy di tahun 1936. Uniknya, laporan itu sebenarnya sudah dianggap tidak berguna dan tersimpan selama bertahun-tahun begitu saja di Perpusatakaan Belanda.

Baca Juga:Persidangan Taipan Media Hong Kong Atas Tuduhan ‘Konspirasi Publikasi Hasutan’ Makan Waktu LamaDirektur Al Jazeera Salah Negm: Kerugian yang Kami Alami karena Penghentian Siaran Dibawa ke Jalur Hukum

Van Gruisen tertarik dengan laporan penelitian yang sudah berdebu itu dan membacanya. Dengan berapi-api, Van Gruisen bercerita kepada pimpinan Freeport Sulphur itu jika selain memaparkan tentang keindahan alamnya, Jean Jaques Dozy juga menulis tentang kekayaan alamnya yang begitu melimpah. Tidak seperti wilayah lainnya di seluruh dunia, maka kandungan biji tembaga yang ada di sekujur Gunung Ersberg itu terhampar di atas permukaan tanah, jadi tidak tersembunyi di dalam tanah.

0 Komentar